Jakarta – Bank Indonesia (BI) menilai, pembatasan transaksi dengan menggunakan uang tunai (cash) bertujuan untuk mencegah tindak pidana pencucian uang (money laundering), serta pendanaan tindak terorisme.
Asal tahu saja, transaksi tunai menggunakan uang kartal di berbagai wilayah Indonesia akan dibatasi Rp100 juta. Aturan tersebut, akan diakomodir dalam Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal.
“Ini untuk meningkatkan akuntabilitas. Dengan pembatasan ini, sifatnya mencegah pencucian uang dan mencegah terjadinya terorisme financing,” ujar Gubernur BI Agus DW Martowardojo, di Jakarta, Rabu, 18 April 2018.
Dia menyebut, usulan pembatasan transaksi menggunakan uang tunai itu merupakan inisiasi dari berbagai instansi terkait. Adapun untuk saat ini, pembahasan mengenai hal tersebut masih dilakukan bersama pemangku kepentingan lainnya.
Menurutnya, BI akan ikut terlibat dalam pembahasan aturan tersebut. “Dan kami memahami baru mau ada diskusi dengan pemangku kepentingan terkait. Masih dibahas bersama Kementerian HAM, dan PPATK,” ucap Agus.
Baca juga: Tiga Pilar Kebijakan BI Untuk Genjot Transaksi Non-tunai
Adapun dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembatasan Transaksi Uang Kartal, ada 12 transaksi yang mendapatkan pengecualian, yang mencakup dua belas hal.
Pertama, transaksi antara satu penyedia jasa keuangan (PJK) yang dilakukan dengan pemerintah dan bank sentral. Kedua, transaksi PJK dalam rangka kegiatan usaha masing-masing.
Ketiga, penarikan tunai dari bank untuk pembayaran gaji atau pensiun. Keempat, transaksi untuk pembayaran pajak dan kewajiban lainnya kepada negara. Kelima, transaksi untuk pelaksanaan keputusan pengadilan.
Keenam, transaksi untuk pengolahan uang. Ketujuh, biaya pengobatan. Kedelapan, transaksi untuk penanggulangan bencana alam. Kesembilan, transaksi untuk pelaksanaan penegakan hukum. Kesepuluh, transaksi untuk penyetoran dan penempatan kepada PJK.
Kemudian, kesebelas, transaksi penjualan dan pembelian valuta asing. Terakhir, transaksi di daerah yang belum tersedia PJK atau tersedia PJK tapi belum memiliki infrastruktur sistem pembayaran yang memadai. (*)