Jakarta – Bank Indonesia (BI) menyoroti perkembangan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) semakin pesat. Ini terlihat dari data McKinsey yang mencatat 72 persen organisasi di dunia telah memanfaatkan AI pada awal tahun 2024.
Berdasarkan data yang ada, Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menyebutkan, angka tersebut telah meningkat pesat dalam tujuh tahun terakhir, di mana sebelumnya AI baru dimanfaatkan oleh organisasi sebanyak 20 persen.
“Salah satu faktor yang menggunakan AI dengan pesat sekali adalah sektor finansial, termasuk perbankan, dan juga bank sentralnya, sebagai key driver dalam transformasi digital. Di bank sentral (BI) sendiri, sudah ada opsi dari AI dalam melakukan aktivitas itu juga sudah mulai telah dilakukan,” ucap Destry dalam acara Banking AI Day, The Ritz-Carlton Jakarta, Pacific Place, Jakarta, Senin, 9 September 2024.
Baca juga: Dukung Adopsi AI di Layanan Perbankan, Indosat Ooredoo Hutchison Lakukan Cara Ini
Sebagai key driver dalam transformasi digital, Destry melanjutkan, di bank sentral adopsi AI telah ditempatkan dalam dua posisi, baik player dan regulator. Tidak hanya BI, Bank of Canada hingga Bank Sentral Brazil juga telah menggunakan AI.
“Apa yang kami lakukan sebagai sebuah bank sentral, kita menggunakan AI untuk mengulang berpikir data yang begitu banyak ada di bank sentral, untuk mendukung perumusan kebijakan dan juga dalam menggunakan kebijakan, sekarang data yang digunakan itu sangat-sangat regular sekali,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, AI juga mampu mengambil lebih banyak data tidak hanya kuantitatif tapi juga kualitatif, di sisi lain BI juga menggunakan AI sebagai regulator yang melibatkan AI sebagai supervisory teknologi atau sub tech BI.
“Dalam kaitan dengan AI sebagai regulator, tentunya kita berharap bahwa regulatory reform, state sandboxing, dan risk-based supervision, itu akan terus dilakukan di Bank Indonesia ataupun di Bank Sentral lainnya,” ujar Destry.
Tantangan Penerapan AI
Meski begitu, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan AI. Salah satunya adalah AI sangat tergantung dari data dan informasi yang diperoleh yang pada akhirnya memengaruhi hasil interpretasi. Untuk itu, pemilihan data ini sangat penting, agar tidak terjadi kesalahan.
“Dan juga salah satu risiko yang bisa muncul itu adalah khususnya pada saat kami harus melakukan stabilitas sisi keuangan, sering ada peningkatan konsentrasi risiko default di tengah meningkatnya keterhubungan antara lembaga keuangan,” tambahnya.
Sebagai contoh, penggunaan robo-advisory secara masif dengan algoritma yang serupa. Hal itu dapat menciptakan learning behavior di antara lembaga keuangan yang mengarah pada risiko yang berkonsentrasi pada satu titik.
Baca juga: Temenos Regional Forum 2024: Soroti Masa Depan Industri Perbankan ASEAN di Era Teknologi AI
Selain itu, kompleksitas dari produk keuangan yang terus meningkat. Ini juga dapat meningkatkan kerentangan kepada masyarakat, karena masyarakat semakin sulit memahami karakteristik dan risiko pada produk keuangan yang kompleks.
“Tentunya risiko semacam ini akan bisa kita mitigasi, karena kita harus cepat adjust dengan beberapa risiko yang ada. Yang pertama, pastikan keamanan data, yaitu dengan menggunakan ekskripsi data, firewall atau lainnya, menggunakan audits secara rutin, kemudian mengatasi bias dalam algoritma,” kata Destry.
Adapun, dalam penggunaan data yang beragam, juga terkait dengan kepatuhan regulasi perlu melakukan update atas regulasi yang berkaitan dengan penggunaan AI, serta perlu dilakukan juga mitigasi risiko operasional. (*)
Editor: Galih Pratama