Jakarta – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan, perlemahan nilai tukar rupiah yang terjadi dalam beberapa hari terakhir, berbeda dengan perlemahan yang pernah terjadi saat krisis global 1998 meski sama-sama menyentuh level Rp16.000/US$.
Perry menjelaskan, pada saat krisis moneter 1998 nilai tukar rupiah mengalami perlemahan hampir delapan kali lipat, yang mana pada saat itu rupiah masih berada pada level Rp2.500/US$ menjadi Rp16.000/US$, namun yang terjadi di 2020 ini pelemahan hanya berkisar 12 persen.
“Mohon maaf, dibandingkan Rp16.000 sekarang, ingat Rp16.000 itu dari Rp2.500 ke Rp16.000 hampir delapan kali lipat. Sedangkan yang terjadi saat ini, rupiah hanya mengalami perlemahan sekitar 12 persen Dari yang sebelumnya berada di level sekitar Rp13.800 menjadi sekitar Rp16.000 per dolar AS,” jelas Perry di Jakarta, Kamis 26 Maret 2020.
Perry menambahkan, perlemahan nilai tukar rupiah beberapa hari terakhir disebabkan oleh kepanikan para investor di pasar uang akibat semakin meningkatnya kasus wabah virus Corona di dunia maupun di Indonesia. Hal itu lah yang mengakibatkan para investor melepaskan aset-asetnya, baik di pasar saham, surat berharga hingga obligasi dan kemudian menempatkannya ke aset yang lebih stabil seperti emas dan dolar.
Meski begitu, Perry memastikan nilai tukar rupiah saat ini telah kembali menguat. Tidak hanya itu, kepanikan para investor di pasar uang juga semakin berkurang karena intervensi yang dilakukan bank sentral berikut stimulus fiskal yang telah diguyurkan pemerintah.
Sebagai informasi saja, pada perdagangan hari ini (26/3) Kurs Rupiah ditutup pada level Rp16.350/US$ posisi tersebut menguat bila dibandingkan pada penutupan perdagangan lusa kemarin (24/3) yang masih berada di level Rp16.540/US$.
Sedangkan berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) hari ini, (26/3) kurs rupiah berada pada posisi Rp16.328/ US$ atau terlihat menguat dari posisi Rp16.486/US$ pada perdagangan lusa kemarin (24/3). (*)
Editor: Rezkiana Np