Jakarta – Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat FEB Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen di November 2023, setelah pada bulan sebelumnya terjadi kenaikan sebesar 25 bps dari 5,75 persen.
“BI perlu mempertahankan suku bunga kebijakannya di level saat ini sebesar 6,00% pada pertemuan bulan November 2023,” kata Riefky dalam keterangannya, dikutip, Kamis 23 November 2023.
Dia menjelaskan, beberapa faktor mengapa BI mempertahankan suku bunga acuannya. Pertama, inflasi yang masih dalam kisaran target yakni berada di level 2,56 persen secara tahunan (yoy) pada Oktober 2023.
Baca juga: Suku Bunga Acuan BI Tinggi, Bagaimana Proyeksi Sampai Akhir Tahun?
Kedua, meski pertumbuhan ekonomi tidak sesuai ekspektasi yakni 4,94 persen di triwulan III 2023, atau di bawah 5 persen untuk pertama kalinya sejak triwulan terakhir tahun 2021. Namun, tingkat pertumbuhan ini sejalan dengan pola penurunan pertumbuhan ekonomi setelah Ramadhan, pola yang sudah berlangsung lama kecuali selama pandemi Covid-19.
“Selain itu, pertumbuhan pada kuartal III 2023 dipengaruhi oleh high-base effect karena tingkat pertumbuhan tercatat sebesar 5,73 persen yoy pada kuartal III 2022 karena low-base pada kuartal III 2021,” jelas Riefky.
Ketiga, tekanan moderat terhadap rupiah, Meskipun inflasi AS masih berada jauh di atas target sebesar 2%, The Fed mempertahankan suku bunga tetap pada kisaran 5,25% – 5,50% pada pertemuan bulan November dengan latar belakang pertumbuhan ekonomi dan ketangguhan pasar tenaga kerja yang ditunjukkan oleh lapangan kerja yang stabil dan peningkatan upah.
Hal tersebut, berpengaruh pada imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 2 tahun dan 10 tahun masing-masing turun sebesar 12 bps menjadi 4,95 persen dan 11 bps menjadi 4,77 persen. Sejak pertengahan Oktober, imbal hasil obligasi pemerintah AS 2 tahun dan 10 tahun telah turun drastis, sebagian disebabkan oleh pembelian aset-aset safe-haven yang didorong oleh kekhawatiran akan semakin intensifnya agresi Israel terhadap Palestina.
Didorong oleh sikap The Fed yang hawkish ditambah dengan perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian akibat agresi Israel dan perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung, investor mulai memindahkan asetnya dari negara berkembang ke negara maju.
Baca juga: Bos BI Ramal Suku Bunga AS Bakal Turun 50 Bps di 2024
“Investor memindahkan asetnya dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang mengakibatkan arus keluar modal dari obligasi dan pasar saham sebesar USD300 juta antara pertengahan Oktober 2023 dan pertengahan November 2023,” ungkapnya.
Meskipun tertekan oleh penguatan dolar AS, Rupiah terapresiasi sebesar 0,9 persen ytd (year to date), mencerminkan kinerja lebih baik dibandingkan sebagian besar mata uang negara- negara berkembang dan hanya lebih buruk dibandingkan Real Brasil yang mengalami apresiasi sebesar 7,2 persen ytd.
“Untuk menjaga kestabilan Rupiah dan memfasilitasi pembayaran utang luar negeri pemerintah, cadangan devisa Indonesia turun sebesar UDR1,8 miliar dari UDR134,9 miliar pada akhir September 2023 menjadi USD133,1 miliar pada akhir Oktober 2023,” pungkasnya. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pengeluaran riil rata-rata per kapita masyarakat Indonesia sebesar Rp12,34 juta… Read More
Jakarta - Bank DBS Indonesia mencatatkan penurunan laba di September 2024 (triwulan III 2024). Laba… Read More
Jakarta - Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Jumat, 15 November 2024,… Read More
Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, 15 November 2024, masih ditutup… Read More
Jakarta - PT Prudential Life Assurance atau Prudential Indonesia mencatat kinerja positif sepanjang kuartal III-2024.… Read More
Jakarta - Di era digital, keinginan untuk mencapai kebebasan finansial pada usia muda semakin kuat,… Read More