Jakarta – Awan gelap sepertinya sedang menyelimuti industri bank perekonomian rakyat (BPR) di hari-hari ini. Bukan dari sisi kinerja, melainkan dari sisi kelembagaan. Industri ini sedang disorot karena banyaknya BPR yang gulung tikar. Apalagi sebagian besar penyebab tumbangnya BPR adalah karena salah kelola oleh pemilik ataupun pengurusnya, alias fraud.
Karena hal itu, kebaikan dan kontribusi BPR terhadap perekonomian nasional seolah ambyar. Tak dilihat, tak diperhatikan. Ibarat kata pepatah; karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sejak 2006 hingga 2023 sudah ada 119 BPR yang ditutup atau dilikuidasi.
OJK sendiri sekarang ini sedang sibuk melakukan pemeriksaan terhadap seluruh BPR. Ini adalah dampak dari terbitnya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), awal Januari 2023. Melalui UU itu, BPR diberi sejumlah keleluasaan untuk mengembangkan bisnisnya. Otoritas ingin memastikan bahwa BPR-BPR yang ada adalah bank-bank yang kuat dan sehat.
“BPR ini diberikan penguatan-penguatan yang tidak dimiliki sebelumnya (melalui UU P2SK). Dan, ini memerlukan penyesuaian dalam regulasi dan sistem pengawasannya. Untuk BPR-BPR yang memiliki masalah fraud, akan dilakukan penyelesaian dengan menyerahkannya kepada LPS dan aparat penegak hukum bagi oknum-oknum yang terlibat fraud. Parasit dalam sistem perbankan, termasuk BPR, harus dibersihkan,” kata Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK, awal bulan lalu.
Baca juga: BPR Bangkrut Terus Bertambah, Ternyata Ini Salah Satu Penyebab Utamanya
Namun, di balik kabut hitam soal BPR-BPR yang ditutup, jangan abaikan bahwa bank-bank rural memiliki peran yang signifikan dalam menggerakkan roda perekonomian nasional, khususnya terhadap segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang selama ini memang menjadi pasar utama BPR. Ciri khas yang melekat dengan BPR dari masa ke masa adalah kedekatannya dengan UMKM dan masyarakat kecil.
Sejak dulu, BPR dikenal dengan pelayanan yang sederhana: melakukan jemput bola langsung terhadap nasabah, menjalankan pendekatan secara personal, dan memberikan produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Hal-hal seperti itu adalah keunggulan BPR yang belum tentu dimiliki oleh bank umum.
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar, Puteri Anetta Komarudin, mengungkapkan bahwa keberadaan BPR tidak sekadar menjalankan fungsi intermediasi. Peran mereka sudah berevolusi, sehingga kini membantu meningkatkan literasi keuangan, khususnya bagi masyarakat kecil di daerah rural.
“BPR juga berperan sebagai motor utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan berkontribusi pada perekonomian daerah yang berbasis kearifan lokal. Termasuk meningkatkan inklusi keuangan dan literasi keuangan bagi masyarakat di pedesaan,” kata Puteri kepada Infobank, bulan lalu.
Kedekatan BPR dengan masyarakat kecil bisa dilihat dari pendanaan terhadap UMKM. Tidak jarang BPR-BPR mendampingi masyarakat perdesaan, dari unbankable atau belum terjamah dengan layanan perbankan menjadi bankable. Mereka mampu mengembangkan produksi UMKM yang awalnya terbatas menjadi produksi masif, serta memperluas pemasaran dari yang awalnya lokal menjadi pemasaran nasional bahkan masuk ke pasar internasional.
Sementara, Tedy Alamsyah, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo), menuturkan, BPR memang memfokuskan diri dalam mengembangkan UMKM Tanah Air. BPR hadir di semua fase perjalanan pelaku UMKM. Tidak semua bank umum mampu melakukan ini, dan kehadiran bank rural bagi pelaku UMKM ini menjadi suatu kebanggaan tersendiri.
“Kehadiran kami (BPR) dari sejak berdiri, fokus dan konsisten melayani masyarakat di kawasan remot dan rural, serta pelaku UMKM. Kami garda terdepan dalam memberikan literasi dan edukasi keuangan pada masyarakat dan pelaku UMKM,” tukas Tedy kepada Infobank, Januari lalu.
Proximity antara BPR dan masyarakat berdampak baik terhadap industri ini, sehingga mampu membawa mereka bersaing dengan bank umum. Sempat dihantam pandemi COVID-19, industri BPR Tanah Air mampu bounce back dan mencatat pertumbuhan yang baik dari tahun ke tahun.
Dari segi penyaluran kredit, misalnya. Sejak 2021, berdasarkan data OJK, industri BPR selalu berhasil mencatat pertumbuhan year on year (yoy) di atas 9%. Pertumbuhan penyaluran kredit sempat melambat di periode 2019-2021 akibat pandemi COVID-19. Namun, pada 2021 sampai 2022, pertumbuhan penyaluran kredit BPR dan juga BPRS bisa kembali ke angka di atas rata-rata pertumbuhan, yakni 10,91%. Dan, sampai dengan Oktober 2023, kredit yang disalurkan industri BPR tercatat tumbuh 9,27% atau menjadi Rp138,69 triliun.
Begitu pun dari segi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK), juga konsisten. Seperti penyaluran kredit, pertumbuhan DPK juga sempat melambat pada 2019 hingga 2020. Namun, BPR dan BPRS lagi-lagi mampu bounce back, mencatat kenaikan sebesar 10,23% dan 8,49% masing-masing di medio 2020-2021 dan 2021-2022. Bahkan, di posisi Oktober 2023, pertumbuhan DPK BPR mampu tumbuh di atas pertumbuhan DPK industri bank umum, yakni 9,66% banding 3,43%.
Di lain sisi, jumlah masyarakat yang dilayani BPR juga mengalami peningkatan. Cerminannya adalah data rekening simpanan industri BPR yang makin membesar.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jumlah rekening simpanan di BPR pada Juni 2023 tercatat 15,53 juta, bertambah sebanyak 1,74 juta dari 2019. Dalam lima tahun terakhir memang terlihat jumlah rekening BPR terus bertambah setiap tahunnya, meski sempat turun tipis dalam kurun 2020-2021. Ini menandakan bahwa BPR kian dipercaya masyarakat. Dan, itu adalah sisi baik dari industri BPR yang tak boleh diabaikan.
Baca juga: OJK Terbitkan 2 Aturan Baru Penguatan BPR dan BPRS, Simak Isinya
Fakta bahwa BPR tetap tumbuh di saat jumlahnya berkurang menjadi kebanggaan tersendiri bagi pelaku industri. Konsolidasi menjadi kunci bagi BPR-BPR dalam meningkatkan kapasitas, kinerja, dan pelayanan terhadap masyarakat, serta memperbaiki posisi mereka di tengah-tengah para nasabah.
Yang pasti, industri BPR Tanah Air masih mampu menunjukkan pertumbuhan signifikan dari masa ke masa. “BPR terus tumbuh sebagai penopang utama dalam pembiayaan bagi masyarakat dan pelaku UMKM perdesaan,” tambah Puteri.
Kendati demikian, industri BPR masih memiliki kelemahan – termasuk perlunya memperkuat tata kelola. “Selaku asosiasi, kami terus dan selalu berupaya untuk mengingatkan, mengajak, dan mengedukasi pelaku industri guna implementasi tata kelola yang baik dan mitigasi risiko yang cermat,” tegas Tedy.
Jadi, walaupun kini industri ini sedang disorot soal adanya BPR-BPR yang ditutup – sebagian besar karena fraud – nyatanya BPR masih memberi kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Dan itu juga menjadi bukti, jika di luar sana masih banyak BPR yang dikelola dengan profesional, sehat, dan tumbuh serta mampu menjaga kepercayaan nasabah. Karena itu, industri BPR harus terus didukung supaya BPR tetap menjadi sahabat baik bagi masyarakat luas, tetap konsisten menjadi mitra UMKM, dan terus menjadi salah satu pilar penting bagi pertumbuhan ekonomi. (*) Mohammad Adrianto Sukarso
¬Tulisan ini telah dimuat di Majalah Infobank No.550, edisi Februari 2024