Jakarta – Pemerintah terus mendorong pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk mengadopsi teknologi digital. Pelaku UMKM yang melek digital mempunyai kesempatan lebih luas untuk bertahan, atau bahkan melakukan ekspansi. Terbukti di masa pandemi COVID-19, transformasi digital menjadi kunci kebangkitan sektor UMKM. Pemerintah pun menargetkan 30 juta UMKM terhubung dengan ekonomi digital pada 2024 mendatang.
Krisis ekonomi akibat pandemi kali ini berbeda dari krisis-krisis sebelumnya. Pada krisis-krisis ekonomi sebelumnya, sektor UMKM terbilang tahan banting. Tapi ketika pandemi melanda, sektor ini justru yang paling terdampak. Pembatasan mobilitas masyarakat membuat bisnis UMKM terpuruk. Padahal sektor ini adalah tulang punggung perekonomian nasional. Sektor UMKM berkontribusi sekitar 61% terhadap produk domestik bruto (PDB) dan menyerap 97% tenaga kerja di Indonesia. Tidak heran ketika UMKM terpuruk, ekonomi nasional ikut merosot.
Maka itu, pemerintah memberi perhatian khusus terhadap sektor ini. Sejumlah insentif digelontorkan untuk membantu UMKM, termasuk dengan mendorong UMKM go digital. Di lain sisi, pandemi COVID-19 seakan menjadi blessing in disguise atau berkah tersembunyi. Berbagai pembatasan mobilitas seakan memaksa pelaku usaha, termasuk UMKM beradaptasi. Adopsi teknologi digital menjadi sebuah keharusan. Kemampuan UMKM memanfaatkan teknologi digital tidak hanya berguna di masa pandemi. Pasca pandemi, UMKM yang melek digital ini bisa bertumbuh lebih pesat. Ekosistem digital membuka peluang besar untuk ekspansi pasar, termasuk merambah pasar global. Di samping itu, transformasi digital UMKM juga bisa membuat beban operasional menjadi lebih efisien. Konsumen pun dimudahkan.
Dari sisi pembiayaan, pemerintah juga mendorong perbankan, terutama bank-bank pelat merah untuk menaruh perhatian khusus bagi sektor UMKM. Bank Rakyat Indonesia (BRI) misalnya, yang memang dikenal sebagai “Raja” kredit UMKM selama masa pandemi melakukan restrukturisasi kredit kepada lebih dari 4 juta nasabah, dengan nilai mencapai Rp256,38 triliun per September 2022. Program restrukturisasi ini terbukti mampu membantu pelaku UMKM survive di masa pandemi. Sisa restrukturisasi kredit pun kian menyusut seiring pemulihan ekonomi. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Januari lalu, Direktur Utama BRI mengungkapkan, outstanding kredit yang direstrukturisasi tersisa Rp116 triliun dari 1,39 juta debitur.
Portfolio kredit BRI sendiri didominasi segmen UMKM. Pada 2022, secara konsolidasi BRI menyalurkan kredit Rp1.139,08 triliun, dan sekitar 84,74% di antaranya mengalir ke sektor UMKM. Rinciannya segmen mikro sebesar Rp551,27 triliun, dan segmen kecil dan menengah sebesar Rp246,60 triliun. Dengan kata lain, pertumbuhan UMKM akan berdampak positif bagi bisnis BRI. UMKM tumbuh, bisnis BRI juga ikut tumbuh.
Sektor UMKM memang menjadi tulang punggung pertumbuhan BRI. Bahkan, sejak didirikan oleh Raden Bei Aria Wirjaatmadja pada 16 Desember 1895 lalu, BRI telah menjadi bagian penting dalam perjalanan sektor UMKM Indonesia. Seiring perkembangan, cara BRI melakukan pendekatan dan melayani nasabah pun mengalami perubahan. Terhitung sejak 2015, perseroan melakukan transformasi, termasuk di sisi digital. Aspek digital ini menjadi bagian penting terutama hampir 3 tahun belakangan, sejak pandemi COVID-19 melanda.
Diakui Sunarso, transformasi digital menjadi salah satu kunci BRI bisa mencatatkan kinerja cemerlang pada 2022. Di samping itu, perseroan juga berhasil menerapkan efisiensi bisnis. Sebagai informasi, pada 2022 lalu, BRI menjadi bank dengan laba terbesar di Indonesia, yakni sebesar Rp51,40 triliun, atau naik 67,15% secara tahunan.
Transformasi digital juga membuat kapasitas dan kapabilitas BRI dalam memberdayakan UMKM menjadi lebih optimal. BRI mendorong UMKM masuk ke ekosistem digital dan naik kelas. Perseroan juga menyediakan berbagai platform digital untuk menjangkau nasabah yang lebih luas dan memudahkan bisnis proses.
Misalnya saja lewat layanan BRI Application Programming Interface atau BRIAPI, layanan open banking yang memungkinkan proses integrasi produk dan layanan bank dengan aplikasi front end pihak ketiga terintegrasi. Tujuannya untuk mempermudah atau membuka pintu kolaborasi dengan berbagai ekosistem digital. Hingga saat ini, platform ini sudah terhubung dengan lebih dari 386 perusahaan mitra, baik perusahaan digital seperti fintech, ride hailing, API enabler, e-commerce atau pun lembaga pendidikan dan pemerintahan.
Ada pula BRILink, dengan jumlah agen yang sudah mencapai 627 ribu pada 2022, atau naik 24,6% secara tahunan. Di agen-agen BRILink, nasabah BRI dan masyarakat umum bisa mendapatkan pelayanan yang sama seperti halnya di unit kerja BRI. Sepanjang 2022, volume transaksi di BRILink mencapai Rp1.298 triliun, atau meningkat 13,5% dalam setahunan. AgenBRILink tersebar hingga ke 58.896 desa di berbagai wilayah Indonesia. Dengan kata lain, jumah tersebut mencakup 77% dari total desa di Indonesia.
BRI juga mengemban amanah sebagai induk dari Holding Ultra Mikro (UMi) yang dibentuk pada 2021 lalu. Beranggotakan Pegadaian dan Permodalan Nasional Mandani (PNM), pada 2022 holding ini sudah memiliki lebih dari 1.000 co-location SenyuM (Layanan terintegrasi antara BRI, Pegadaian, dan PNM) yang tersebar di Indonesia. Jumlah tenaga pemasaran yang menggunakan aplikasi SenyuM Mobile sudah mencapai 68 ribu orang dan menjangkau nasabah di seluruh Indonesia.
Direktur Bisnis Mikro BRI, Supari mengatakan, ekosistem digital bagi pelaku UMKM menjadi salah satu cara memacu pertumbuhan kredit dan mengembangkan kapasitas UMKM. Ini sejalan dengan arahan pemerintah yang menargetkan rasio kredit UMKM perbankan nasional mencapai 30% pada 2024. Namun, harus diakui tidak semua pelaku UMKM, khususnya ultra mikro punya kemampuan untuk melakukan transformasi digital, tanpa didampingi.
“Tidak semua pelaku UMKM ultra mikro mempunyai kemampuan serta modal adaptasi yang sama sehingga perlu pendampingan kepada mereka,” ujarnya dalam sebuah seminar, medio Februari 2022. (*) Ari Astriawan