Jakarta – Kejatuhan dua bank di Amerika Serikat, Silicon Valley Bank dan Signature Bank pelu dijadikan sebagai pembelajaran bagi industri perbankan dan juga nasabah di Tanah Air. Hendry Lieviant CEO Komunal menilai, pelajaran penting yang bisa diambil dari kasus di AS adalah pentingnya untuk memperhatikan aturan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai lembaga yang menjamin simpanan nasabah di bank di Indonesia.
Dia mengungkapkan, besarnya aset sebuah bank tidak dapat dijadikan dasar yang paling utama untuk menilai bahwa bank tersebut kuat dari sisi permodalan.
“Ini terbukti pada bank besar yang jatuh di AS kemarin memiliki aset hingga ribuan triliun rupiah, namun bisa kolaps dalam waktu 48 jam. Sebaliknya, menabung di bank lebih kecil belum tentu berisiko tinggi asalkan tabungan dan deposito kita dijamin oleh LPS,” ujar Hendry dalam keterangan resminya, seperti dikutip, Senin, 20 Maret 2023.
Dalam mengantisipasi hal tersebut, Hendry mengatakan perlunya memastikan suku bunga yang diterima dari bank sudah sesuai dengan suku bunga yang dijamin oleh LPS. Dimana saat ini suku bunga yang dijamin pada bank umum adalah sebesar 4,25% dan untuk bank BPR sebesar 6,75%.
“Karena jika kita menerima bunga melebihi bunga yang dijamin oleh LPS maka seluruh simpanan kita baik pokok dan bunganya tidak akan dijamin LPS,” jelasnya.
Kemudian, pastikan total simpanan di bank tidak melebihi dari jumlah yang dijamin oleh LPS yaitu sebesar Rp2 miliar per nasabah per bank, serta pastikan bank yang dipilih untuk menempatkan dana deposito adalah bank peserta LPS. “Dengan memperhatikan ketiga faktor tersebut maka simpanan nasabah di bank akan relatif lebih aman,” katanya.
Kasus SVB bermula dari bank yang kekurangan modal menimbulkan kekhawatiran para nasabahnya. Terutama mengenai keamanan simpanan mereka. Pasalnya di Amerika Serikat berlaku batas penjaminan simpanan oleh FDIC (Federal Deposit Insurance Corporation) sebesar USD250 ribu atau Rp3,75 miliar (dengan kurs Rp15.000/dolar as).
“Yang menjadi masalah, banyak nasabah yang memiliki dana simpanan di atas plafon tersebut. Sehingga dikhawatirkan uang mereka tidak akan kembali karena tidak sesuai dengan syarat/kriteria penjaminan,” pungkasnya.
Hendry menambahkan, jika nasabah ingin mendiversifikasi investasi selain deposito di bank umum, sejumlah instrumen lain dapat menjadi pilihan, yakni di antaranya obligasi, reksadana dan deposito BPR. Adapun obligasi, merupakan jenis sekuritas utang yang menawarkan tingkat pengembalian tetap selama periode waktu yang ditentukan. Obligasi umumnya dianggap lebih rendah risiko daripada saham.
Selanjutnya reksadana, instrumen investasi ini menawarkan pilihan investasi yang terdiversifikasi dengan biaya relatif rendah dan risiko yang bervariasi tergantung oleh underlying dan strategi investasi reksadana tersebut.
“Yang juga sangat menarik adalah berinvestasi di deposito bank BPR. Deposito BPR memang relatif belum terlalu populer dibandingkan ketiga instrumen sebelumnya. Namun, ini sekaligus merupakan salah satu instrumen investasi yang menarik. Sebabnya, deposito BPR memiliki tingkat suku bunga yang lebih tinggi dari bank umum, yakni hingga 6,75% per tahun namun sekaligus aman karena dijamin LPS,” tegas Hendry.
Head of Marketing Komunal Vera Rosana menambahkan, selama ini instrumen deposito BPR dipandang memiliki proses pendaftaran yang lumayan panjang dan bersifat manual. Kehadiran Komunal sebagai fintech yang fokus mendigitalisasi BPR kini menjadi titik terang.
“Sejak Komunal meluncurkan produk DepositoBPR by Komunal, deposan dapat menempatkan investasinya dengan mudah tanpa tatap muka di 200 lebih BPR yang terdapat dalam aplikasi DepositoBPR by Komunal,” urai Vera. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra