Oleh Awaldi, Direktur Operasional Bank Muamalat, dan Penulis Buku “Karyawan Galau Nasabah Selingkuh”
SEHABIS main badminton ringan dengan Romli, security kompleks tempat saya tinggal di Serpong, saya tidak lantas bisa ngaso. Sambil narok raket di lapangan badminton, duduk nyandar ke pohon yang ada dekat lapangan, Romli menyambar, “apa bener pak Haji eh Gan, kita harus berdamai dengan Corona?”.
Memang Romli adalah temen setia saya maen badminton selama karantina COVID-19. Karena tempat-tempat olah raga seperti tennis dan golf banyak yang ditutup, maka setiap pagi saya maen badminton sebentar dengan Romli, barang 30-45 menit, istilahnya nyari keringat, termasuk selama bulan puasa ini.
Saya masih sedikit ter-engah-engah ketika mendapatkan “samberan pertanyaan” Romli, yang memang kadang tak terduga. Dia nggak tahu kalau habis olahraga ini jantung belum stabil denyutnya, kalau tiba-tiba diajukan pertanyaan yang susah dijawab, bisa makin limbung dan jantung berdegupnya makin kenceng. Saya menarik nafas panjang, ikut duduk, tapi tidak selonjor seperti Romli. Saya duduk di bangku yang ada di dekat lapangan. Saya geleng-geleng kepala dalam hati saya salut juga sama security ini, selalu update dengan berita-berita baru.
Memang jaman ini sudah terjadi demokrasi informasi, siapapun bisa dapet informasi secara bersamaan tidak tergantung kepada level jabatan dan kekayaan serta status sosial. Selama tanggal 7-8 Mei kemaren memang banyak berita yang menyampaikan pandangan dari Presiden kita, bapak Joko Widodo, bahwa “masyarakat Indonesia kini harus hidup berdamai dengan COVID-19 dalam beberapa waktu ke depan sampai ditemukannya vaksin”.
Juru bicara kepresidenan menambahkan bahwa maksudnya adalah kita tidak bisa berdiam diri saja di rumah, kita harus tetap produktif. Virus ini sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari, karena itu masyarakat Indonesia harus membiasakan diri. Di WAG (WhatsApp Group) saya malah berita ini lengkap dengan planning pembukaan kembali kegiatan masyarakat dan bisnis secara perlahan-lahan mulai 1 Juni 2020. “Juragan, masak kita harus berdamai dengan musuh nomer wahid kita?”, suara Romli membangunkan saya dari lamunan. Saya agak kikuk juga. Saya bisanya menjawab dengan mengajukan pertanyaan, “Rom, apa di tempat tinggal kamu semuanya orang yang baik? Apa di tempat kerja kamu nggak ada yang ngejelek-jelekin kamu? Apa kamu sekali-sekali tidak menganggap boss kamu sebagai musuh juga?”.
Tidak semua orang baik ada di lingkungan kita, tidak semua tempat bersih, tidak semua makanan yang disajikan dengan cara-cara hygienis, kita tidak tahu, toh kita tetap bisa hidup dengan lingkungan seperti itu. Kita tidak punya kekuasaan dalam derajat tertentu untuk mengusir mereka, untuk memperbaikinya. “Jadi Romli”, saya melanjutkan dan menjelaskan, “kita tidak tahu kapan Corona pergi, dan sejauh ini kita tidak mampu membasminya, karena itu seperti nasehat Presiden berdamailah hidup dengannya”.
Saya bilang kepada Romli, Corona adalah sahabat baru kita. Sebenarnya saya ragu-ragu menyampaikan frasa itu kepada Romli. Bukan hanya saya ragu Romli akan memahaminya, tapi saya juga merasa bahwa frasa itu terlalu bombastis. Akan tetapi untuk menjelaskan sesuatu, apalagi kepada Romli, kadang dibutuhkan sesuatu yang bombastis.
Dari air mukanya saya tahu Romli masih bingung. Saya memberikan perumpamaan jika dalam satu rumah kita tinggal dengan seseorang yang tidak menyenangkan, dan kita tidak bisa mengusir dia dari rumah itu (mungkin karena adik ipar, atau karena kita menumpang di rumah saudara, dan lain-lain), juga tidak bisa meninggalkan rumah itu karena kita tidak punya duit, apa yang dilakukan? Kita membentengi diri supaya tidak sering-sering ketemu Ybs; kita melatih telinga supaya tahan mendengarkan bentakan, melatih hati untuk tidak mengambil pusing perilakunya. Itulah caranya berdamai dengan keadaan.
Saya lihat Romli sedikit mengangguk-ngangguk. Saya pikir dia mulai mengerti penjelasan saya. Sambil menyeka keringat saya membuat kesimpulan supaya terjadi pemahaman yang terkristalisasi, “jadi Rom, kita jadikan musuh yang tidak bisa kita usir sebagai sahabat dengan defence strategy, membentengi diri sendiri!”.
Cara membetengi diri itu sudah pasti beraktifitas dan bekerja produktif di luar rumah dengan memperhatikan protokol kesehatan yang berlaku; menggunakan masker, cuci tangan sering-sering dan menjaga jarak. Itu sudah menjadi mantra baru. “Namun Rom, itu saja tidak cukup”. Saya menjelaskan ada aspek-aspek baru yang harus menjadi kebiasaan kita dalam menjadikan Corona yang musuh sebagai sahabat.
Saya nengok ke arah Romli yang masih selonjor. “Rom, kita mesti lebih care dengan tubuh kita supaya daya tahannya lebih baik.” Tubuh kita adalah ciptaan Tuhan yang luar biasa, mesin yang paling baik di muka bumi ini. Sudah barang tentu mesin ini jauh lebih baik dari mesinnya Corona. Cuma belakangan kita kurang merawatnya sesuai dengan SOP dan users manual.
Seperti gaya seorang resi saya menceramahi Romli bahwa petunjuk utama dalam menggunakan tubuh sebagai mesin paling sempurna di dunia ini adalah, “jangan sembarangan memasukkan sesuatu ke dalam perut”. Saya bilang kepada Romli, masak mesin yang paling baik ciptaannya tidak dijaga apa asupannya. Mobil Mercedes aja beda jenis bensinnya dengan Toyota Avanza, apalagi tubuh kita! Saya bilang ke Romli, mungkin dulu kita isi apa aja, mobil bagus kita isi bensinnya dengan “solar” atau “premium” nggak apa-apa, karena kita tidak punya musuh dalam selimut. Sekarang karena kita bersahabat dengan musuh besar Corona, makanya yang dimasukkan ke dalam perut harus yang terbaik dan sesuai dengan spesifikasi mesinnya.
Saya meneruskan, “dari penelitian mutakhir, dilihat dari struktur gigi dan alat pencernaan, kita adalah makhluk herbivora. Karenanya spesifikasi makanannya mesti disesuaikan. Jangan sembarangan!”. Saya meneruskan penjelasan, “selain spesifikasi asupannya mesti yanh terbaik, makan jangan pake skedul yang sudah ditetapkan, 3 kali sehari pagi-siang-malam pada jam-jam tertentu”. Kita makan bukan berdasarkan jam. Sama dengan isi bensin mobil bukan pake jam-jam-an. Diisi ulang kalau sudah mau kosong, dan diisi jangan sampai penuh, nanti tidak diproses mesin dengan baik. Karena itu kita makan kalau sudah lapar aja. Kalau belum lapar, ya jangan makan. Perut yang kosong akan memberikan kesempatan untuk pencernaan yang lebih baik, dan perut yang kosong juga membuat produksi tinggi lekosit darah putih sebagai satpam penghalau virus dan bakteri. Jadi sesuai dengan nasehat Rasulullah, “makanlah pada waktu kau lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang”.
Saya menoleh ke arah Romli, yang sepertinya sudah sedikit bosan mendengarkan celotehan saya, “kau praktekkan ini insyallah daya pertahanan benteng tubuhmu akan membaik ketika mesti hidup berdamai dengan Corona.”.
Bahkan penelitian juga menemukan bahwa kreativitas dan kerja otak akan lebih baik pada saat perut kosong. Saya bilang Romli, “perut kosong tidak berarti kelaparan ya.” Semakin mampu kita memperjarak gap antara waktu makan semakin piawai kita hidup dengan perut kosong, dan perasaan lapar makin menghilang.
Setidaknya jarak antara satu makan dengan makan yang lain 7-8 jam, di antaranya tidak boleh diisi dengan makan yang lain. Kalau bisa jaraknya 12 jam lebih baik. “Jadi Romli”, saya meneruskan, “karena itu tinggalkan kebiasaan makan 3 kali sehari. Dengan makan 2 kali sehari sesuai habit herbivora, dan secukupnya, insyaallah pertahanan kita menjadi lebih baik”. Dan tentu bulan puasa ini memberikan kita masa latihan yang baik untuk tidak sering-sering makan.
Dari gayanya saya lihat Romli sudah ingin pergi dan mengakhiri pembicaraan. Dia sempat nyeletuk, “bener nih Gan apa yang disampaikan?”. Saya menjawab santai aja, “ya kalau percaya boleh, kalau nggak ya rapopo”. Saya pun beranjak pergi menuju rumah mau bersih-bersih dan mandi. Dalam hati saya berpikir, kok ini ngobrolnya lebih banyak dibandingkan olahraganya. Tapi nggak apa-apalah sekalian mengingatkan diri sendiri. Mari berjaga-jaga. Semoga semua kita bisa menjalani hidup yang baru berdekatan dengan Corona.
Sambil menoleh ke belakang saya berteriak ke Romli, “jangan lupa resepnya ditambah dengan gerakan tubuh yang cukup seperti olahraga badminton ini setiap pagi, dan tetaplah kamu selalu senyum apapun yang terjadi,” (*)