Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
SEJAK dua hari lalu, masyarakat banyak yang bertanya, apa urgensinya pemotongan gaji karyawan sebesar 3% untuk Tabungan Perumahhan Rakyat (Tapera) di zaman sulit ini. Sempitnya lowongan pekerjaan, dan rendahnya daya beli karena kebutuhan pokok sehari-hari naik dengan angsuran pinjaman karyawan yang juga menumpuk. Potongan program sosial seperti BPJS-TK dan BPJS-Kes. Kabar, “pemalakan” gaji karyawan ini tentu mengagetkan karyawan yang terlihat “ngoceh” di media sosial.
Kelas karyawan adalah kelas sandwich, posisinya di tengah. Tidak dapat Bansos, tapi tidak berduit juga. Tentu maksud Tapera itu baik, untuk menyediakan rumah bagi karyawan. Tabungan Perumahan Rakyat adalah simpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan rumah, renovasi rumah. Pemerintah telah membentuk Badan Pengelola (BP) untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan guna pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.
Namun dengan tumpang tindih iuran bagi karyawan tentu ini perlu perbaikan. Lantas, apa pula manfaatnya bagi karyawan yang sudah punya rumah dengan menabung puluhan tahun? Jangan sampai Tapera bersikap individualism, atau bersikap sebagai fund manager seolah berdiri sendiri di tengah banyak program sosial. Nah, secara filosofi kelembagaan BP Tapera harus disepakati bahwa Tapera ini program sosial yang idealnya dalam satu payung UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang mengatur tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Inti dari perubahan itu antara lain; peserta Tapera adalah pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar.`
Lebih lanjut, pekerja yang masuk dalam kriteria, yakni calon pegawai negeri sipil (PNS), pegawai aparatur sipil negara (ASN), prajurit TNI, prajurit siswa TNI, anggota Polri. Kemudian, pejabat negara, pekerja/buruh BUMN/BUMD, pekerja/buruh BUMDES, pekerja/buruh BUM swasta dan pekerja yang tidak termasuk pekerja yang menerima gaji atau upah.
Adapun besaran simpanan dana Tapera yang akan ditarik tiap bulannya sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri. Rinciannya, peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen. Sedangkan, besaran simpanan pekerja mandiri ditanggung sendiri oleh pekerja mandiri.
Ada tiga tugas Tapera, dana yang diperoleh BP Tapera dari peserta akan dilakukan pengelolaan berupa Pengerahan, Pemupukan dan Pemanfaatan (1) Pengerahan Dana Tapera adalah kegiatan menghimpun Simpanan Peserta (2) Pemupukan Dana Tapera adalah upaya untuk memberikan nilai tambah atas Dana Tapera melalu investasi, (3) Pemanfaatan Dana Tapera adalah kegiatan pemanfaatan Dana Tapera yang dilakukan untuk pembiayaan bagi Peserta untuk memiliki rumah pertama.
Untuk itu, seperti ditegaskan diawal, secara filosofis kelembagaan BP. Tapera ini program sosial dan perilaku Tapera tidak seperti fund manager yang tugasnya hanya menghimpun dana. Jika tidak, seperti reaksi masyarakat yang terlihat hari-hari ini ketika mendengar pemotongan gaji langsung bereaksi negative. Itu karena pemahaman public tidak sama dan BP Tapera dinilai masih tampak “diam-diam” saja.
Hal lain yang perlu diperhatikan, BP Tapera harus create benefit, khususnya masyarakat yang sudah punya rumah, atau tidak mendapat manfaat rumah — di atas Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Apalagi, imbal hasilnya tidak besar-besar amat dan bisa jadi tak akan melebihi yield Surat Berharga Negara (SBN).
Tidak hanya itu. Untuk MBR atau penerima manfaat, perlu pembenahan manfaat rumah yg lebih berkualitas dan layak huni. Sayangnya, sampai saat ini sinergi dengan Perumnas dan Bank Tanah masih jauh panggang dari api. Untuk itu, perlu leadership partnership yangg baik untuk membanghun sinergi ini.
Problem lain, seperti secara operasional tampaknya belum siap. Untuk membangun sistem operasional yang akan menerima jutaan rekening – yang bukan secara operasional, tapi juga soal keamanan yang bebas cyber fraud. Apalagi, masih ada kendala pengelolaan data (khususnya data ASN) yang belum sinkron antara data di BKN, Taspen dan BPJS-Kesehatan, utamanya data ASN Pemda. Perbedaan dana Itu akan akan meningkatkan government distrust.
Menurut catatan Infobank Institute, posisi Tapera di antara dua Kementerian PUPR sebagai regulator program perumahan, dan Kemenkeu sebagai pengampu dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang dikelola Tapera, tentunya membuat Tapera tak bisa berbuat banyak untuk inovasi. Namun hal ini sebenarnya tergantung pada pengelola sendiri. Kondisi lebih parah bagi Tapera jika fasilitas FLPP ini dicabut. Bahkan, APINDO menolak program Tapera ini, karena dinilai semakin menambah beban baru, baik bagi pengusaha dan pekerja.
Menurut APINDO, saat ini beban pungutan yang telah ditanggung pengusaha sebesar 23,24-24,74 persen dari penghasilan pekerja. Rinciannya, mulai dari jaminan sosial ketenagakerjaan jaminan hari tua 3,7 persen, jaminan kematian 0,3 persen dan jaminan kecelakaan kerja 0,25-1,74 persen.
Selain itu, pengusaha juga harus menanggung jaminan pensiun karyawan 2 persen, jaminan sosial kesehatan 4 persen, cadangan pesangon dengan PSAK berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8 persen, hingga tambahan dana pensiun 5 persen. Walaupun ada cap maksimal biaya, setelah dikumpulkan ternyata besar. Pasalnya, tidak termasuk pajak natura yang lebih kurang 2 persen. Sementara, ketika APINDO menolak iuran Tapera dengan pertimbangan beban yang dipikul para pengusaha tersebut, Kemenaker tidak tampak “pasang badan”.
Jika demikian halnya, Tapera harus bekerja sama dengan BPJS-TK, meski tampak tumpang tindih, karena di BPJS-TK juga ada program perumahan. Entah apakah BPJS-TK menempatkan dana di Tapera dalam bentuk untuk membercepat pembangunan rumah, atau dalam kerjasama saling menguntungkan. Ada dua pekerjaan rumah di sini, yaitu benahi payung hukum, harus sama-sama di bawah UU SJSN, dan dalam satu komando DJSN. Kedua, siapkan model bisnisnya. Ini tidak sulit, BPJSTK punya lebih dari Rp100 triliun dana perumahan
Pemerintahan “Goyang Gemoy” sudah akan menjalankan roda pemerintahan yang tumpang tindih aturan, contohnya adalah BPJS-TK dan BP Tapera dengan berbagai komando. Bahwa, BP Tapera adalah baik untuk menyediakan perumahan bagi karyawan. Namun di era sulit uang dan pekerjaan bagi generasi muda, maka sikap Tapera jika seperti fund manager, maka akan menimbulkan penolakan dari peserta.
Belum lagi isu tentang kemampuan sumber daya manusia (SDM) Tapera yang masih jauh di bawah lembaga pengelola dana seperti perbankan, tentu membangun trust lebih penting di tengah distrust masyarakat terhadap lembaga para pemungut iuran karena banyak kasus-kasus yang merugikan, seperti Jiwasraya. Dan, su public distrust dan government distrust ke BP. Tapera menjadi prioritas utama, karena Tapera filosofinya sosial dan bukan fund manager.
Dari banyak hal itu, manfaat yang diterima bagi peserta tidak sama, tentu ini akan menimbulkan banyak pertanyaan. Isu paling berat bagi BP Tapera adalah isu pengelolaan dana di tengah kasus Jiwasraya, dan Asabri. Juga, diberbagai dana pensiun lainnya. Jadi, dengan model Kontrak Pengelolaan Dana Tapera (KPDT) yang ada saat ini tentu tidak ada benefit yang diterima bagi mereka yang sudah punya rumah. Hal ini harus diubah dan tentu dengan izin OJK yang tentu juga tidak mudah.
Jika tidak dilakukan perubahan dengan hasil yield yang besar. Alhasil, netizen bilang lha ngapain saya kena “palak” atau nabung paksa di Tapera di tengah banyak potongan gaji? Sementara hidup sudah seperti lagu Rhoma Irama; yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin…. Akhirnya, “pemalakan” oleh Tapera kepada karyawan akan lebih baik sukarela dan tidak wajib.