Maraknya bisnis digital, startup dengan menghilangkan bisnis yang semula berjaya, tentu menjadi kekhawatiran yang lebih serius daripada hantu PKI. Pertanyaan mendasar, dengan adanya ekonomi digital ini, siapa yang diuntungkan? Apakah Indonesia akan menjadi pasar besar saja dan pemerintah tidak memahami ini?
Jika harga sewa toko mahal dan per square meter mal mahal, maka yang terjadi banyak yang membuka toko secara online yang biayanya murah. Apakah toko online yang banyak dan tersebar akan membuat barang-barang yang diproduksi di Indonesia otomatis laku keras?
Ternyata tidak selalu. Di sinilah awal bencana itu. Menurut pengakuan seorang pemilik bisnis online besar (market place), ternyata pembeli terbesar ialah anak-anak muda yang membeli produk luar negeri. Hanya sekitar 6 persen hingga 8 persen yang membeli produk UMKM Indonesia. Jika demikian, barulah terjawab mengapa Jack Ma masuk ke Indonesia. Juga, kenapa para angel investor masuk ke beberapa startup di Indonesia.
Baca juga: Politisasi (Lagi) Pemilihan Direksi dan Komisaris BUMN
Mereka mengincar pasar besar Indonesia. Inilah yang dinamakan digital colonization–penjajahan dengan digital. Dunia tanpa sekat. Tanpa entry barrier dan dengan App semua bisa di-download hari itu juga langsung ke seluruh dunia. Banyak bisnis yang akan terdisrupsi.
Tidak terasa, tapi tiba-tiba akan senyap. Akibat yang lebih besar, karena yang dibeli adalah produk luar negeri yang dikonotasikan murah, sementara produk lokal dinilai kurang baik, maka lama-lama produsen akan mati. Dengan delivery yang cepat, produk-produk luar akan membanjiri kita.
Sementara, kalau kita catat, e-commerce atau market place besar sebagian besar sudah digandeng oleh asing. Data sudah digenggam, maka bisnis akan mudah dikendalikan oleh pemilik startup. Jika demikian, maka pelan-pelan toko-toko mati, produsen mati—apalagi bangsa Indonesia sangat konsumtif yang tahunya membeli dan membeli barang. (Bersambung ke halaman berikutnya)