Jakarta – Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, mengungkapkan sejumlah hal penting untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia pada sisa semester tahun ini. Salah satunya, ia menyoroti realisasi belanja pemerintah yang dinilai kurang optimal pada semester I 2025, yaitu baru mencapai Rp1.407,1 triliun atau 38,8 persen dari pagu anggaran sebesar Rp3.621,3 triliun.
Ia menilai, untuk mencapai target belanja, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran ke sektor-sektor prioritas yang memiliki multiplier effect besar bagi ekonomi riil atau masyarakat.
“Tentunya, sektor yang memiliki multiplier effect besar pada masyarakat. Yang dari sisi penyerapan pekerja besar, seperti pertanian, manufaktur, perdagangan. Ini belanja modal atau stimulus fiskal yang harus diberikan pemerintah ke sektor-sektor tersebut, agar efeknya bisa dirasakan masyarakat luas,” ujar Josua saat Media Briefing Virtual Economic Review: Semester I Tahun 2025 yang diadakan Permata Insitute for Economic Research (PIER), Senin, 11 Agustus 2025.
Menurutnya, sejumlah indikator ekonomi tidak sejalan dengan pertumbuhan PDB nasional sebesar 5,12 persen pada kuartal II 2025. Hal ini menunjukkan ada program belanja pemerintah yang belum berjalan maksimal.
“Misalnya program MBG (Makan Bergizi Gratis). Seperti yang dilaporkan Menteri Keuangan bahwa realisasi MBG sendiri belum optimal. Artinya, ini pun perlu dicarikan langkah strategis, supaya program MBG ini bisa mendekati target. Setidaknya bisa lebih optimal di semester kedua,” imbuh Josua.
Baca juga: Kredit Loyo Vs Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen: Paradoks yang Mencurigakan
Josua pun menegaskan, percepatan belanja dapat mencegah fenomena rojali (rombongan jadi beli) dan rohana (rombongan hanya nanya) yang ramai dibicarakan.
“Ini adalah masalah klasik pemerintah, di mana belanja pemerintah selalu banyak terjadi di akhir tahun. Harus ditarik di awal tahun, jadi ini yang harus menjadi lesson learned pemerintah ke depan bahwa percepatan spending ini harus disegerakan sejak awal tahun,” tekannya.
Dukungan Kelas Bawah dan Menengah
Di sisi lain, Head of Macroeconomics and Market Research Permata Bank, Faisal Rachman, menilai pemerintah juga perlu memperhatikan masyarakat ekonomi bawah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional hingga di atas 5 persen, atau bahkan mencapai 8 persen.
Ia menjelaskan, ekonomi Indonesia yang ditopang oleh sektor konsumsi akan lebih cepat terakselerasi bila kelas ekonomi bawah dan menengah sama-sama berkontribusi melalui konsumsi.
“Itu kita tak bisa pungkiri bahwa 50 persen lebih kekuatan ekonomi kita dari konsumsi rumah tangga, sehingga itu yang harus dikencangkan. Untuk konsumsi rumah tangga bisa di atas 5 persen, harus mengangkat kelas bawah bergerak ke kelas menengah, agar mereka bisa belanja barang-barang sekunder,” ucapnya.
Baca juga: Ekonomi RI Kuartal II 2025 Masih Ditopang Konsumsi Rumah Tangga
Faisal juga mewanti-wanti bahaya mengabaikan masyarakat kelas bawah, mengingat fenomena downgrading dari kelas menengah ke bawah terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Baginya, downgrading tidak hanya berarti membeli barang yang lebih murah, tetapi juga beralih ke barang bekas atau ilegal yang tidak berdampak positif pada perekonomian.
“Jadi, di semester kedua ini, pemerintah fokusnya harus menjaga daya beli rumah tangga, tapi juga perlu fokus pada kelas bawah dan menengah. Maka, program-program pemerintah harus bisa menyerap tenaga kerja supaya bisa menciptakan peningkatan pendapatan secara menyeluruh dan konsumsinya meningkat,” tukas Faisal. (*) Steven Widjaja









