oleh Paul Sutaryono
KINI, boleh dikatakan sedang menuju musim suku bunga kredit rendah. Suku bunga acuan (BI 7 Day Reverse Repo Rate/BI 7 DRRR) sempat bertengger 6% selama 8 bulan sejak November 2018. Tetapi kini BI 7 DRRR sudah turun berturut-turut 25 basis poin (bps) (0,25%) pada Juli, Agustus, September dan Oktober 2019 menjadi 5%.
Kok bisa? Lantaran tekanan suku bunga acuan AS atau The Federal Fund Rate (FFR) mulai mereda dengan turunnya FFR sebesar 25 bps (0,25%) menjadi 1,75-2% pada awal September 2019. Penurunan itu sangat diharapkan menjadi faktor pendorong utama penurunan suku bunga kredit perbankan. Hal itu akan mendorong penurunan suku bunga deposito yang berarti akan menurunkan biaya dana (cost of fund) perbankan. Ujungnya, suku bunga kredit akan dapat menurun pula meskipun transmisi penurunan suku bunga acuan tidak secepat yang diharapkan sektor riil.
Jangan lupa bahwa jauh sebelumnya, Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan giro wajib minimum (GWM dalam rupiah) 50 bps menjadi 6% sedangkan GWM syariah turun menjadi 4,50% yang berlaku efektif 1 Juli 2019. Hal itu amat diharapkan akan memberikan ruang yang cukup leluasa bagi bank untuk melakukan ekspansi kredit. Dengan demikian, menurut BI, akan terdapat tambahan likuiditas Rp25 triliun di industri perbankan nasional. GWM adalah sejumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh bank setiap hari di bank sentral. Besaran GWM ditetapkan oleh bank sentral dalam presentase tertentu dari dana pihak ketiga (DPK).b
Dengan demikian, BI sudah menggelontorkan amunisi di pasar keuangan dan memamgkas suku bunga acuan untuk mendorong penurunan suku bunga kredit perbankan. Berbekal aneka kebijakan moneter tersebut, sektor riil akan berlari lebih kencang sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional lebih subur.
Secara ringkas, GWM merupakan salah satu alat moneter dalam menjaga stabilitas makroekonomi. Dengan bahasa lebih bening, ketika BI melakukan pelonggaran GWM, itu berarti sedang terjadi likuiditas yang ketat di pasar. Dengan demikian, akan terdapat tambahan likuiditas di pasar keuangan sehingga bank dapat melakukan ekspansi kredit dengan lebih leluasa. Sebaliknya, ketika bank sentral menaikkan GWM itu berarti likuiditas di pasar keuangan sudah terlalu besar sehingga perlu dilakukan pengetatan kebijakan moneter. Hal itu bertujuan untuk memelihara dan mengendalikan stabilitas ekonomi.
Aneka Faktor Kunci Keberhasilan
Lagi-lagi, faktor kunci keberhasilan (key success factors) apa saja bagi masing-masing kelompok bank untuk mampu memenangi persaingan perbankan yang semakin sengit ini? Bagaimana kinerja kelompok bank asing?
Pertama, imbal hasil aset (return on assets/ROA). Dalam kondisi ekonomi di tengah ketidakpastian global ini, bank suka tidak suka harus mampu membuat semua aset yang dimilikinya menghasilkan buah manis. Semua aset? Ya.
Untuk itu, semakin tinggi kualitas aset yang dimiliki bank akan semakin tinggi pendapatan suatu bank. Hal itu tersurat pada rasio ROA. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 18 Oktober 2019 menunjukkan bahwa Kelompok Bank Asing sanggup meraih ROA paling tinggi 3,71% per Agustus 2019 bahkan 2 kali lebih dari ambang batas 1,5% dan di atas rata-rata industri 2,49%. Ini mengandung arti bahwa kualitas aset Kelompok Bank Asing semakin membaik. Semua aset dapat menghasilkan buah yang manis.
Kinerja itu disusul oleh Kelompok Bank Persero dengan ROA 2,82%, Kelompok Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa 2,18%, Kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD) 2,10%, Kelompok BUSN Non Devisa 1,26% dan Kelompok Bank Campuran 1,18% sebagaimana tampak pada Tabel di bawah ini.
Kedua, selain itu, bank juga wajib terus menerus mengerek tingkat efisiensi yang tersurat dalam rasio beban atau biaya operasional berbanding pendapatan operasional (BOPO). Bagaimana tingkat efisiensi menurut kelompok bank?
Data SPI mencatat bahwa Kelompok Bank Persero unggul dalam tingkat efisiensi yang mencapai 77,13% masih dalam ambang batas 70-80% dan di bawah rata-rata industri 80,60% yang dibayangi Kelompok BPD 79,79%. Kemudian menyusul Kelompok BUSN Devisa 80,72%, Kelompok Bank Asing 87,76%, Kelompok BUSN Non Devisa 90,17% dan Kelompok Bank Campuran 91,63%. BOPO 4 kelompok bank terakhir ini sudah melampaui ambang batas sehingga bisa dikatakan sebagai kelompok bank yang kurang efisien. Padahal ingatlah senantiasa bahwa tingkat efisiensi tinggi menjadi kunci utama dalam memenangi pertarungan dalam bisnis perbankan.
Ketiga, bukan hanya itu, tetapi juga amati tingkat suku bunga deposito. Formulanya, makin tinggi bank membutuhkan dana, makin tinggi suku bunga deposito. Kita lihat praktek di lapangan. Untuk suku bunga rata-rata deposito (dalam rupiah) dengan tenor 1 bulan, Kelompok BUSN Non Devisa menawarkan paling tinggi 6,91% di atas rata-rata industri 6,48%. Demikian pula untuk tenor 3, 6 dan 12 bulan masing-masing 7,53%, 8,04% dan 7,99%.
Kelompok Bank Persero dan Kelompok BUSN Devisa tidak menawarkan suku bunga deposito terlalu tinggi. Mengapa? Karena OJK masih memasang aturan batas atas (capping) suku bunga deposito. Pada 16 Maret 2016, OJK memutuskan batas atas suku bunga deposito maksimal 100 bps (1%) di atas suku bunga acuan untuk bank umum kelompok usaha (BUKU) 3 dengan modal inti di atas Rp5 triliun hingga Rp30 triliun dan maksimal 75 bps (0,75%) di atas suku bunga acuan untuk BUKU 4 dengan modal inti di atas Rp30 triliun.
Keempat, simak pula margin pendapatan bersih (net interest margin/NIM). Ketika suku bunga acuan mulai menipis, biasanya NIM akan menipis pula atau minimal jalan di tempat. Kok bisa? Ketika suku bunga acuan turun, bank akan menurunkan pula suku bunga deposito sekitar 2-3 bulan ke depan sebelum kemudian menyetrum penurunan suku bunga kredit.
Oleh karena itu, fluktuasi NIM akan berjalan seiring dengan perubahan (naik atau turun) suku bunga acuan. Nah, bagaimana NIM menurut kelompok bank? Ternyata Kelompok BPD menjuarai dalam NIM 5,95% di atas rata-rata industri 4,90%. Bahkan angka itu lebih tinggi daripada Kelompok BUSN Non Devisa 5,53%, Kelompok Bank Persero 5,25%, Kelompok BUSN Devisa 4,51%, Kelompok Bank Asing 4,25% dan Kelompok Bank Campuran 3,49%.
Pelajaran Berharga
Kelima, setelah mengamati semua rasio keuangan tersebut, kini kita cermati kelompok bank mana yang mampu meraih kenaikan laba paling signifikan atau paling tinggi. Ternyata Kelompok Bank Asing mampu menggenjot kenaikan laba sebelum pajak paling tinggi 64,38% jauh di atas kelompok bank lainnya.
Kelompok BUSN Devisa 9,11% dan Kelompok Bank Persero hanya mampu meraih kenaikan laba sebelum pajak 6,78%. Celakanya, laba sebelum pajak Kelompok Bank Campuran, Kelompok BUSN Non Devisa dan Kelompok BPD masing-masing justru turun 13,76%, 11,79% dan 2,99%.
Pertanyaannya, mengapa Kelompok Bank Asing mampu mengangkat kenaikan laba sebelum pajak 64,38% di tengah ekonomi yang sedang meredup saat ini? Karena Kelompok Bank Asing memiliki ROA paling tinggi 3,71% jauh di atas ambang batas 1,5%. Dengan bahasa lebih bening, Kelompok Bank Asing mampu memberdayakan semua aset sehingga menghasilkan buah yang legit.
Keenam, selain itu Kelompok Bank Asing juga merajai dalam kecukupan modal minimum (capital adequacy ratio/CAR) 50,92% jauh di atas rata-rata industri 23,93%. Angka itu juga jauh melampaui kelompok bank lainnya. Inilah rinciannya. CAR Kelompok Bank BUSN Non Devisa 28,09%, Kelompok Bank Campuran 24,17%, Kelompok Bank BUSN Devisa 22,57%, Kelompok BPD 20,55% dan Kelompok Bank Persero 21,64%.
Mengapa CAR Kelompok Bank Persero alias bank pemerintah justru menduduki paling buncit? Kemungkinan besar, karena sebagian besar dana bank pemerintah dikucurkan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur seperti jalan tol, bandara, pelabuhan laut, irigasi dan pembangkit tenaga listrik. Pastilah hal itu akan menekan modal.
Ketujuh, bank pun wajib terus memperbaiki rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Data menunjukkan bahwa NPL menurun (membaik) dari 2,74% per Agustus 2018 menjadi 2,60% per Agustus 2019.
Kinerja Kelompok Bank Asing tersebut sudah sepatutnya menjadi pelajaran berharga bagi kelompok bank lainnya. Upaya meningkatkan kualitas aset itu harus tiada henti dilakukan meski dalam ketidakpastian ekonomi global. (*)
Penulis adalah Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI.