oleh: Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank
PT BANK BUKOPIN Tbk (BBKP) akhirnya secara dramatis jatuh ke “pelukan” Kookmin Bank. Bank nomor dua di Korea Selatan dengan aset sekitar Rp4.500 triliun ini kemungkinan besar bakal memiliki lebih dari 51% saham BBKP. Pada tahap awal, Kookmin Bank masuk ke BBKP dalam rangka penawaran umum terbatas yang penuh “drama” dan berliku akan mengantongi saham kisaran 37% saham.
Jatuhnya BBKP atas perintah tertulis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Kookmin Bank ini menimbulkan sentimen asing dan non-asing. Entah kenapa tiba-tiba isu ini mencuat, padahal dalam sejarah take over bank ke pihak asing tak ada yang namanya pressure politik. Tidak ada sing atau tidak asing. Adem ayem tak ada kegaduhan, tapi kasus BBKP seperti ada yang diperebutkan.
Padahal, selama 21 tahun sejak krisis, sudah hampir 90 persen jumlah jumlah bank di Indonesia jatuh ke investor asing tak pernah ada isu asingisasi. Isu lain yang mengikuti masuknya Kookmin ke BBKP adalah bagaimana komitmen BBKP pada UMKM ke depan. Selama ini BBKP memang kuat di pasar UMKM dan consumer.
Ada empat sebab utama BBKP penuh “cerita” hingga akhirnya pindah kepemilikan. Satu, alotnya proses akuisisi dari pemilik lama ke Kookmin – yang harganya dinilai Kookmin relatif mahal. Dua, ada persoalan kualitas kredit sebelum badai COVID-19, dan berlanjut. Tiga, soal likuiditas yang “mengering” sehingga sempat short Rp16 triliun. Empat, struktur kepemilikan bank yang hampir merata sehingga tidak ada yang menjadi pengendali di atas 51%. Ada sikap saling tunggu.
Cerita menarik justru setelah terjadi perintah tertulis OJK tentang jatuhnya BBKP ke Kookmin Bank. Perpindahan saham dan potensi delusi saham pemilik lama, termasuk saham pemerintah, Kopelindo, dan PT Bosowa Corporindo. Padahal, sebelum sahamnya bergeser ke Kookmin, BBKP, meski tak parah menderita sakit kualitas kredit. Konon kredit-kredit tertentu mengalami masalah, tapi tidak dimasukkan dalam kategori NPL. Kredit direstrukturisasi lebih dari satu kali. Tapi, bukan itu yang menyebabkan Bukopin penuh drama.
RUPSLB pada Juni 2020 lalu memang rencananya untuk menambah modal. Jika bank sudah tambah modal, maka bank juga bisa ekspansi dan keluar dari pengawasan khusus. Dan, Kookmin, meski dengan penuh tekanan (perintah tertulis), akhirnya menyetor US$200 juta. Rencananya Kookmin akan menambah modal lagi pada penawaran umum terbatas mendatang untuk melengkapi kepemilikan saham menjadi 51%, atau bisa lebih tergantung pada harga yang terbentuk di pasar.
Kendati demikian, dari empat masalah penting, seperti struktur kepemilikan, kualitas kredit, harga jual, dan masalah likuiditas, menjadi sangat dominan. Soal likuiditas ini membuat BBKP “pendarahan” menahan penarikan dana. Bisa jadi, jika tidak ada rumor yang dipicu temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhdap OJK, BBKP masih dalam struktur kepemilikan lama. Dan, tidak banyak drama yang justru makin menyulitkan Bukopin.
Apalagi, setelah berita temuan BPK itu diviralkan terus-menerus selama sebulan penuh. Plus ditambah-tambah narasi yang intinya agar nasabah menarik dananya untuk dipindahkan ke bank-bank pesaing. Pas di Juni 2020, di mana bank-bank harus menampilkan performa yang bagus, maka persaingan memperebutkan dana memasuki wilayah yang mematikan. Tidak sehat dan melupakan etika bankir.
Ada video yang diviralkan, padahal tidak semua benar, karena kontek dan gambar sebenarnya berbeda. Seperti, ada nasabah di Sidoarjo, Jawa Timur yang marah-marah menyusun bilyet depositonya – yang katanya tidak bisa ambil uang tunai. Sontak viral ke seluruh Indonesia, bahkan seorang teman mengirim dari Swiss dan Chicago.
Jelas saja tidak bisa memenuhi, karena nasabah itu minta uang tunai atau cash sebanyak Rp45 milita. Bank sebesar apa pun kalau datang mendadak dengan meminta uang tunai jreng Rp45 miliar juga tidak bisa. Akhirnya lewat RTGS transfer dapat dilaksanakan, dan nasabah itu pun minta maaf. Banyak drama dan rumor menghinggapi BBKP sejak hasil audit BPK diumumkan tanggal 12 Mei 2020, dan terus diviralkan selama lebih dari sebulan.
BBKP merupakan bank yang menjadi korban rumor. Rush. Psikologis nasabah terganggu sehingga makin memperparah kondisi likuiditas. OJK tentunya akan selalu menjaga industri perbankan tetap dalam kondisi baik. Jangan sampai menimbulkan efek domino yang berlarut-larut.
Bahkan, sampai Selasa malam (30/06/2020) masih ada antrian nasabah untuk mengambil uangnya dengan mendatangi kantor di Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, di tengah malam pula. Mengapa ada nasabah malam-malam datang untuk antrian besok pagi? Tidak masuk akal. Padahal, secara psikologis hadirnya BRI sebagai technical assistance (TA), harus sudah dapat menenangkan nasabah. Juga, dengan komitmen Kookmin untuk membesarkan BBKP harusnya masalah terselesaikan.
Pelajaran lain yang bisa dipetik dari kasus BBKP ini, ternyata persaingan bank sudah memasuki babak yang mengerikan. Jadi, jangan sampai bank Anda terkena rumor atau kehabisan likuiditas. Jika terkena, maka bank Anda akan sendirian– meski bank Anda membayar iuran LPS dan OJK rutin tak pernah menunggak.
Juga, minta pertolongan dengan fasilitas likuiditas ke BI sulit dan hampir mustahil, dengan syarat yang berat. Mau minta ke LPS, seperti BBKP, bukan bank sistemik – jadi tidak sejak ada konsep bail-in. Bahkan, minta ke LPS untuk menempatkan dananya untuk pertolongan pertama pun tidak bisa – karena aturan LPS sendiri. Juga, minta ke bank-bank BUMN, sudah tentu dengan jaminan 300%. Bank-bank Anda akan sendirian seperti yatim piatu.
Boleh jadi, perintah tertulis OJK memilih Kookmin itu untuk menyelamatkan industri perbankan dari kekacauan atau bank run yang bisa menular. Jangan sampai ada efek domino. Kepentingan industri perbankan lebih utama dan mendesak untuk dijaga. Penyehatan Bukopin dinilai menyehatkan industri perbankan. Itulah yang boleh jadi juga sebagai langkah antisipasi yang dilakukan oleh OJK dalam mencegah kerusakan yang lebih parah di industri perbankan.
Tapi, penambahan modal menjadi urgen untuk menghidupkan kembali sebuah bank– tanpa bumbu politik atau sentimen asingisasi– yang penting bank dapat membawa manfaat bagi ekonomi Indonesia. Siapa pun pemiliknya, bank harus berperan dalam menyalurkan kredit ke masyarakat. Hadirnya Kookmin Bank bisa membuat Bukopin yang kuat di pasar UMKM dan consumer banking makin memperkuat kuda-kuda Bukopin. Ada sinergi antara kekuatan BBKP dengan Kookmin Bank – karena Kookmin kuat di pasar mortgage atau perumahan.
Jadi, masyarakat tidak perlu panik, selain ada LPS yang menjamin dana masyarakat, tapi juga karena soal likuiditas dan modal sudah diselesaikan pemegang saham. Jadi, harusnya nasabah tenang karena BBKP masih tetap ada, dan bahkan jika melihat Kookmin Bank yang asetnya Rp4.500 triliun, maka BBKP akan makin kokoh dari sisi bisnis, likuiditas dan modal.
Sudah waktunya menghentikan rumor, seperti tidak bisa mengambil uang dengan viral-viral, karena bukan hanya Bukopin siapa pun bank bisa terkena rumor juga, dan akibatkan bisa terjadi efek domino ke mana-mana. Bank sebesar apa pun dan sekuat apa pun jika nasabah secara tiba-tiba, beramai-ramai mengambil uangnya maka bank itu akan kesulitan kekeringan likuiditas.
Para bankir tampaknya juga — yang menikmati kesusahan bank lain — dengan cara “menarik-narik” nasabah dengan cara menjual hasil audit BPK dengan mengesankan seolah-olah bank bermasalah. Ada sejumlah bank yang menikmati rumor ini dan ada sejumlah bank yang menjual rumor ini untuk menjaring dana masyarakat – khususnya account officer (AO) dan pimpinan cabang yang hendak memperbaiki kinerjanya di laporan Semester I tahun 2020. Faktanya, banyak bank kelimpahan dana dari susahnya BBKP ini
Harusnya siapa saja yang memviralkan rumor hasil audit dihentikan, atau dipolisikan jika ada yang menambah narasi yang menghasut, karena 7 bank yang dirumorkan itu, seperti kata Agung Firman Sampurna, Ketua BPK sudah menyelesaikan hasil temuannya. Permintaan Agung Firman Sampurna kepada InfoBank (18/06/2020), jangan dikesankan hasil temuan BPK yang dinyatakan selesai itu seolah-olah bank bermasalah, karena BPK memeriksa OJK dan bukan memeriksa 7 bank itu yang masalahnya berbeda, bahkan ada bank yang hanya temuan administrasi saja.
Juga, itu pun temuan lama dari 2017-2019. Past performance. Apalagi, jika bank sudah setor modal dengan komitmen besar, tentu tidak ada isu lagi soal bank bermasalah. Bank sudah segar bugar karena modalnya bertambah. Namun demikian, kalangan perbankan meminta berbagai kalangan termasuk BPK, DPR, LPS, Akademisi dan pengamat serta media untuk tidak “lambe turah” membuat rumor bank bermasalah. Bank Bukopin dapat dijadikan monument korban viral dan berharap tidak akan terulang lagi.
Sakitnya sebuah bank, pengalaman (1998/2008), maka sakit pula industri perbankannya. Stop dagang rumor bank bermasalah. Jangan biarkan sampai ada efek domino, jika itu terjadi maka bank-bank lain juga akan terkena imbasnya. Dan, bagi bank-bank lain jangan menikmati situasi ini, karena siapa pun bisa terkena.
Palajarannya, jangan terus memproduksi rumor. Dagang hoax. Situasi sedang sulit karena efek Pandemi Covid-19. Jangan sampai masalah merembet ke sektor keuangan – karena biayanya mahal dan lama seperti penyehatan bank tahun 1998/2008.
Jangan pula penyehatan perbankan dipolitisasi, atau ditarik-tarik ke ranah politik. Sebab, siapa pun yang punya Bukopin – bagi nasabah – Bukopin makin kuat, dan mampu memberikan kredit (fungsi intermediasi) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi – pada akhirnya Negara akan menikmati dari sisi pendapatan lewat pajak. (*)