Jakarta – Di era digitalisasi ekonomi, suatu perusahaan dapat secara mudah dan ekonomis menawarkan produk dan jasa mereka ke pasar negara lain, atau membentuk kerja sama atau berafiliasi dengan perusahaan asing di negara lain. Kondisi ini menuntut otoritas pajak untuk melakukan serangkaian cara yang dapat mempertahankan peraturan perpajakan yang adil, khususnya pemajakan atas transaksi lintas negara.
Otoritas perpajakan di banyak negara di dunia mengantisipasi dampak globalisasi tersebut dengan melakukan perjanjian yang bernama Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau disebut juga tax treaty. Namun demikian, P3B memiliki ekses, yakni penyelundupan pajak. Wajib Pajak pada umumnya memiliki kecenderungan untuk melakukan berbagai upaya untuk mengurangi beban pajaknya. Hal ini dilakukan agar penghasilan bersih yang diperoleh dari transaksi di tingkat internasional menjadi lebih besar, di sisi lain mampu mencapai efisiensi pajak yang optimal.
Pasalnya, Wajib Pajak (WP) seringkali terpacu untuk melakukan aggresive tax planning ataupun penghindaran pajak. Merespons hal ini, banyak negara yang membuat aturan anti penghindaran pajak (anti avoidance rules). Aturan tersebut dapat bersifat khusus (Specific Anti Avoidance Rule/SAAR) dan/atau bersifat umum (General Anti Avoidance Rule/GAAR).
Dalam hal ini, Staf Khusus Menteri Keuangan RI Yustinus Prastowo mengatakan bahwa masyarakat perlu memiliki pengetahuan mendasar mengenai konsep perpajakan internasional sehingga dapat memahami tujuan dan arah perkembangan kebijakan di level global. Perpajakan internasional merupakan suatu kajian keilmuan atas pemajakan dari transaksi yang terjadi lintas negara.
Topik pemajakan atas transaksi lintas negara, saat ini terus dibahas oleh Menteri Keuangan dari negara-negara maju atau G7 yang sepakat untuk mendukung usulan Amerika Serikat mengenakan pajak atas pendapatan dari korporasi global dengan tarif minimal sebesar 15%. Negara-negara bersepakat untuk mendesain skema perpajakan yang lebih adil, terutama bagi negara berkembang agar bisa mendapatkan keadilan disaat basis pajak terus tergerus dan alokasi pajak kerap berkurang.
Untuk menghindari risiko pemajakan transaksi lintas negara, Indonesia saat ini aktif dalam diskusi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan diskusi pada negara G20. Menurut Yustinus, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, juga aktif membahas dengan Menteri Keuangan Amerika Serikat mengenai penghindaran pajak yang agresif dan bagaimana mendorong keadilan perpajakan lintas yurisdiksi.
“Di zaman digitalisasi yang menyebabkan banyak perubahan yang sangat cepat ini, konsep-konsep yang selama ini diterapkan bisa jadi sudah tidak relevan. Ini karena perkembangan model bisnis dan tantangannya terus-menerus berubah,” ujar Yustinus dalam diskusi bertajuk ‘Pemajakan Lintas Yurisdiksi: Konsep, Dinamika, dan Arah Kebijakan’ yang digelar Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Kamis, 17 Juni 2021.
Ia mengungkapkan, bahwa Pemerintah Indonesia juga terus belajar dan mencoba sekuat tenaga untuk berkontribusi mengamankan basis pajak negara Indonesia tanpa meninggalkan kerjasama global. Hal inilah yang menjadi prinsip dan dipegang teguh agar tidak tertinggal dan bisa mendapatkan bagian yang adil.
Lebih lanjut Yustinus menyampaikan, usulan Joe Biden yang mengenakan pajak atas pendapatan dari korporasi global dengan tarif minimal sebesar 15% sudah sepatutnya mendorong Indonesia sebagai pembelajar pajak untuk menganalisis ide-ide yang dapat diadvokasi dan dipetik bagi pemerintahan Indonesia supaya bisa berjuang di kancah internasional tentang basis pajak Indonesia.
Praktisi Perpajakan – Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I) Sutan R.H.Manurung pun menambahkan, ada beberapa praktik tax avoidance atau penghindaran pajak yang umum diterapkan: (a) Praktik Penghindaran Pajak Melalui Skema Transfer Pricing; (b) Praktik Penghindaran Pajak melalui Skema Thin Capitalization; (c) Praktik Penghindaran Pajak Melalui Skema Treaty Shopping dan Pemanfaatan Negara Tax Haven; (d) Praktik Penghindaran Pajak Melalui Skema Control Foreign Corporation (CFC).
Faktor pendorong tax avoidance diantaranya adalah (a) kelemahan sistem perpajakan di yurisdiksi tertentu; (b) tersedianya opportunity; (c) lemahnya penegakan hukum; (d) sulitnya pengungkapan tax avoidance, hal ini membutuhkan pengalaman apakah sebuah perusahaaan melakukan tax avoidance, apalagi mengingat keterbatasan kita dengan negara tax haven country; (e) kelemahan pengenaan sanksi; (f) terdapatnya jalan keluar penyelesaian (negotiated settlements).
Menurutnya, adanya tax avoidance dan tax evasion tidak membuat negara-negara tinggal diam. Mereka akan membuat perjanjian bilateral atau unilateral untuk mengatasinya dengan penerapan General Anti Avoidance Rules (GAAR) yang merupakan ketentuan anti penghindaran pajak yang bersifat umum yang tidak dibatasi kepada subjek atau objek tertentu. Setiap negara memiliki GAAR yang berbeda walaupun tampaknya sama.
“OECD action membuat inclusive network dengan 139 negara untuk menghindari tax avoidance. Saaz merupakan ketentuan anti penghindaraan pajak seperti controlled foreign company, arm’s length rule, advance pricing agreement, debt-to-equity ratio,” papar Sutan R.H.Manurung. (*)