Oleh: Dr. H. Serian Wijatno, SE, MM, MH
INSENTIF pajak untuk pembelian rumah belum dirasakan oleh semua masyarakat, dan khususnya para developer. Selama ini banyak pembeli rumah dengan melakukan pembelian ke developer dulu dengan pola inden. Tidak banyak developer yang membangun lebih dulu, baru dijual. Apalagi, jangka waktu pemberian insentif ini hanya 6 bulan ke depan sejak Maret 2021 ini. Meski pembebasan Ppn ini dinilai baik, tapi dirasakan relative kurang “nendang”.
Pemerintah seperti “obral” insentif, termasuk insentif pajak yang sudah dilakukan sejak tahun 2020 dan dilanjutkan hingga tahun 2021 ini. Lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tampak pemerintah telah bekerja keras mendorong perekonomian agar tidak kontraksi lebih dalam.
Harus diakui stimulus ekonomi di tahun 2020 mampu mempertahankan belanja pemerintah, dan ekonomi tahun 2020 hanya terkontraksi 2,19%. Menurut Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI, peran stimulus ekonomi dapat menahan ekonomi tidak jatuh lebih dalam. Untuk itu, stimulus ekonomi tetap diberikan untuk mendorong daya beli.
Menurut data Menteri Keuangan RI, tahun 2021 dana yang dialokasikan untuk pemulihan ekonomi sebesar Rp688,33 triliun, atau naik dari tahun 2020 yang Rp579,78 triliun – termasuk di dalamnya Rp53,86 triliun untuk insentif pajak.
Ada tiga hal penting dalam kebijakan penghapusan PPN untuk rumah dibawah Rp2 miliar dan pengurangan PPN untuk rumah Rp2 – 5 miliar. Kemudahan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 21/PMK/010/2021. Satu, selama ini konsumen FLPP sudah mendapatkan insentif pajak. Jadi, sebenarnya bukan hal yang baru.
Dua, pemberian pembebasan pajak atau pengurangan PPN ini diperuntukan bagi rumah yang sudah jadi, atau yang sudah melakukan Akte Jual Beli (AJB). Tidak untuk rumah inden – rumah yang dipesan lebih dahulu dan belum jadi rumahnya. Tiga, jangka waktu pemberian insentif ini hanya 6 bulan terhitung Maret 2021 hingga Agustus 2021 mendatang.
Namun demikian, kebijakan stimulus pajak ini umumnya disambut dengan baik, meski masih ada yang perlu diperbaiki, khususnya mengenai jangka waktu dan cakupan. Apalagi, selama ini menurut data dari Real Estate Indonesia (REI), pembelian rumah sebesar 70-78% dilakukan lewat mekanisme perbankan, atau lewat Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Untuk mendorong pemberian kredit sektor properti, Bank Indonesia (BI) juga sudah memberi relaksasi kebijakan, yaitu dengan memperbolehkan loan to value (LTV) sampai 100 persen. Artinya tanpa uang muka atau DP Nol persen. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memberikan relaksasi dalam menghitung Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) yang lebih longgar kepada bank-bank dalam pemberian kredit sektor properti.
Jauh sebelumnya OJK juga sudah membuat relaksasi kredit Jilid II hingga Maret 2022. Bank-bank diberi kemudahan untuk melakukan restrukturisasi kredit agar bank-bank tidak mengalami kredit bermasalah yang jumlahnya besar.
Selain Bebas PPN, Perlu Pengurangan BPHTB
Banyak kemudahan diberikan untuk mendorong pembelian rumah. Hal ini wajar saja karena sektor properti juga membawa dampak ikutan yang besar untuk sektor yang lain. Kebijakan insentif pajak ini bisa jadi untuk menggerakan pembelian rumah. Jika pembelian rumah ramai, maka ekonomi juga bergerak, dan daya beli juga meningkat.
Hal itu akan memicu pembangunan rumah baru. Sektor properti kembali bergerak dan kredit bank juga bergerak lebih cepat. Namun dalam kebijakan insentif pajak ini perlu diperhatikan beberapa hal. Satu, karena pembelian rumah lewat KPR dan sebagian besar inden, maka sudah sewajarnya tidak dibatasi dengan rumah jadi. Jangan sampai hanya ingin menghabiskan stock rumah yang “mangkrak” selama Pandemi COVID-19. Pendeknya, rumah inden tetap diberi insentif.
Dua, jangka waktu sebaiknya tidak enam bulan, lebih panjang — sampai dampak Pandemi COVID-19 berakhir. Atau, paling tidak sampai terjadi herd immunity – skenario sampai awal tahun 2022. Hitungannya, selama Pandemi-COVID 19 ini, pengerjaan rumah banyak kendala dalam pembangunan rumah.
Tiga, selain pembebasan PPN untuk rumah di bawah harga Rp2 miliar dan pengurangan pajak bagi rumah Rp2-5 miliar ini, perlu ditambah dengan insentif yang selama ini diperjuangkan oleh kalangan developer, yaitu pengurangan Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Selama ini perlu pengurangan dari tarif 5% menjadi lebih rendah, atau yang sering diusulkan sebesar 2,5%.
Pengurangan BPHTB ini tidak semudah seperli pembebasan PPN rumah di bawah Rp2 miliar. Karena kewenangan BPHTB ini ada di daerah, sementara insentif PPN ada di pemerintah pusat. Untuk penghapusan BPHTB ini makin sulit, dan berat karena banyak daerah yang APBD nya berkurang.
Insentif pajak berupa pembebasan pajak ini diharapkan dapat menggerakan orang memberi properti, atau rumah. Paling tidak dapat mendorong keinginan orang untuk membeli rumah. Pertanyaannya; apakah masih ada orang yang punya uang berkeingunan untuk beli rumah? Jika jawabnya masih ada orang yang punya uang – bisa jadi skala prioritas dari mereka adalah faktor kesehatan.
Untuk itu, jangka waktu pembebasan PPN pembelian rumah ini perlu diperluas dengan rumah inden, dan jangka waktunya paling tidak sampai Indonesia terjadi herd immunity. Apalagi, jika diikuti dengan pengurangan biaya BPHTB, maka properi akan bergerak lebih “nendang”. Sektor ekonomi akan lebih bergerak lebih cepat dan mendorong sektor ekonomi yang lain.
*) Penulis adalah Pemerhati Ekonomi, Keuangan, dan Pendidikan