oleh Paul Sutaryono
TAHUN 2019 boleh disebut sebagai tahun konsolidasi perbankan nasional lantaran terdapat beberapa bank umum merger. Sebut saja Bank Dinar merger dengan Bank Oke, lalu Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) merger dengan Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBC Indonesia). Tak mau kalah, Bank Danamon merger dengan Bank Nusantara Parahyangan (BNP) dan kemudian menyusul Bank Mitraniaga segera merger dengan Bank Agris.
Terkait dengan Bank Royal Indonesia (Bank Royal), yang dipeluk BCA, apa dan bagaimana kinerjanya? Awalnya, Bank Royal bernama Bank Rakyat Parahyangan, yang berdiri pada 25 Oktober 1965, berkedudukan di Bandung. Namun, kini berpusat di Jakarta dengan satu kantor cabang utama di Surabaya dan enam kantor cabang pembantu. Sebelumnya, kepemilikan bank ini mayoritas dikuasai PT Royalindo Indonesia Wijaya sebesar 82,70%. Sisanya dimiliki Leslie Semedi 5,71%; Herman Soemedi, Ibrahim Soemedi, dan Ko Sugiarto masing-masing 2,94%; dan Nevin Soemedi 2,77%.
Sampai dengan akhir 2018, total aset Bank Royal tercatat Rp986,46 miliar atau tumbuh 7,22% dibandingkan dengan tahun sebelumnya Rp903,21 miliar. Sementara, pinjaman yang diberikan dan piutang mencapai Rp566,93 miliar, terkoreksi 1,33% dari posisi sebelumnya Rp574,55 miliar. Pada periode yang sama, dana simpanan nasabah Rp618,07 miliar atau tumbuh 1,71% dari tahun sebelumnya senilai Rp607,69 miliar (Bisnis.com, 26 April 2019).
Mengapa akhirnya BCA merangkul mesra Bank Royal? Menurut pihak BCA, pembelian bank papan bawah itu bertujuan untuk mendukung program Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan mengembangkan bisnis perbankan. Ke depan, Bank Royal akan menjadi entitas terpisah sehingga tetap dapat menawarkan diversifikasi jasa perbankan.
Lantas, jurus apa saja yang akan dipakai BCA dalam mengelola Bank Royal di masa mendatang? Pertama, BCA ingin membangun dan mengembangkan sinergi dengan mengakuisisi Bank Royal. Menurut Donald M. DePamphilis, Ph.D. dalam bukunya, Mergers, Acquisitions and Others Restructuring Activities (2001), salah satu tujuan akuisisi adalah menciptakan sinergi. Sinergi sering disederhanakan sebagai suatu kombinasi dari dua bisnis yang dapat menghasilkan nilai bagi pemegang saham yang lebih besar daripada jika berdiri sendiri-sendiri.
Terdapat dua sinergi, yakni sinergi operasional dan sinergi finansial. Sinergi operasional terdiri atas skala ekomoni (economies of scale) dan skup ekonomi (economies of scope). Skala ekonomi berarti ada gejala penurunan biaya produksi per unit ketika dilengkapi dengan kenaikan volume produksi (output). Makin besar perusahaan, makin rendah biaya produksi per unit. Sedangkan skup ekonomi berarti jika perusahaan menghasilkan beragam output, maka biaya rata-rata produksinya akan makin rendah. Karena itu, BCA akan berupaya keras untuk menaikkan tingkat efisiensi operasional melalui sinergi operasional.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara akuisisi nasabah (customers), pemasok (suppliers), dan pesaing (competitors). Dengan bahasa lebih bening, BCA akan memperoleh nasabah, pemasok, dan pesaing dalam sekejap alias tidak perlu menunggu lama. Aksi korporasi BCA itu bagai tanpa menanam pohon yang subur, tapi langsung dapat memanen buahnya yang manis.
Kedua, ketiga hal, yakni nasabah, pemasok, dan pesaing, sangat bermanfaat dalam menyalurkan jasa perbankan BCA dalam skala yang lebih luas. Jangan lupa bahwa selama ini BCA dikenal sebagai bank yang memiliki banyak sumber dana murah. Dengan mengakuisisi Bank Royal, maka BCA akan makin mampu meraih sumber dana murah itu.
Dari mana saja dana murah itu? Dengan memiliki jutaan nasabah yang tersebar di seluruh Nusantara ditambah jaringan Bank Royal dengan ribuan nasabahnya, BCA dapat menggali sumber dana murah dari pengelolaan transaksi sehari-hari, seperti giro, tabungan, dan deposito (current account and saving account/CASA). Plus pendapatan dari aneka transaksi nonkredit (fee based income), seperti ATM, mobile banking, internet banking, cash management, dan wealth management.
Ketiga, BCA juga dapat memanfaatkan Bank Royal untuk menggeber kredit ke usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pasca-akuisisi. Harap dicatat bahwa dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/12/PBI/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Perubahan atas PBI nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan UMKM, Bank Indonesia (BI) telah mewajibkan bank umum untuk mengucurkan kredit ke segmen UMKM minimal 20% dari total kredit.
Untuk memperlancar pencapaian kewajiban itu, penyaluran kredit tersebut dibagi menjadi empat tahapan: minimal 5%, 10%, 15%, dan 20% masing-masing pada 2015, 2016, 2017, dan 2018. Namun, sampai dengan akhir 208, ternyata masih banyak bank umum yang belum memenuhi target tersebut. Akibatnya, bank umum yang belum memenuhi syarat itu suka tidak suka harus mengejar pengucuran kredit ke segmen UMKM. Menurut BI, terdapat sekitar 20% bank umum atau 23 dari 115 bank umum yang belum memenuhi syarat.
Karena itu, Citibank telah menyampaikan saran supaya regulator memberikan keleluasaan penyaluran kredit UMKM secara indirect financing, tidak dibatasi pada jenis pembiayaan secara langsung. Katakanlah, membeli surat utang dan menyalurkan dananya untuk kebutuhan UMKM atau dengan supplier financing, supply chain finance, dan distributor financing. Namn, BI tampaknya belum memberikan putusan lebih lanjut.
Sejatinya, bank papan atas seperti BCA dapat mengucurkan kredit UMKM melalui bank papan bawah atau bank perkreditan rakyat (BPR) melalui channeling dengan membagi margin. Nah, ketika BCA telah merangkul Bank Royal dengan mesra, BCA cukup menyalurkan kredit UMKM melalui bank itu. Dengan asumsi bahwa bank papan bawah sudah akrab dengan kredit UMKM, kiat BCA itu sungguh merupakan langkah strategis dalam memenangi pasar yang memiliki margin sangat tebal itu.
Keempat, tentu BCA tetap harus mengeluarkan biaya investasi untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) Bank Royal. Upaya itu bertujuan supaya kompetensi pegawai Bank Royal setara dengan pegawai BCA pada umumnya. Hal itu akan memperlancar kesetaraan pengetahuan SDM Bank Royal akan produk dan jasa perbankan (product knowlegde) BCA yang lebih luas.
Kelima, BCA juga perlu menjaga tingkat efisiensi pada level yang rendah. Data menunjukkan bahwa tingkat efisiensi BCA yang tersirat pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO) menipis (membaik) dari 58,65% per Desember 2017 menjadi 58,22% per Desember 2018, jauh di bawah ambang batas 70%-80%.
Bandingkan pula dengan data berikut. Statistik Perbankan Indonesia yang terbit pada 26 April 2019 mencatat bahwa BO/PO bank umum mencapai 85,33% per Februari 2019 sebagai BO/PO rata-rata industri. Ringkas kata, BCA merupakan bank yang efisien.
Keenam, tantangan serius lainnya bagi BCA ialah manajemen risiko korporasi (enterprise risk management/ERM). Harap disimak bahwa kini banyak bank umum, terutama bank papan atas, yang memiliki banyak anak perusahaan. Demikian pula BCA. Selama ini BCA mempunyai beberapa anak perusahaan, seperti BCA Finance yang bergerak dalam pembiayaan mobil; CS Finance (PT Central Santosa Finance) yang bergerak di bidang pembiayaan anjak piutang, pembiayaan konsumen, dan sewa guna usaha; serta Bank BCA Syariah di bidang perbankan syariah. Ada pula BCA Sekuritas yang bergerak di bidang perantara perdagangan efek dan penjamin emisi efek; BCA Insurance dengan bisnis perasuransian termasuk asuransi umum dan asuransi kerugian; dan BCA Life yang memberikan layanan asuransi jiwa kepada seluruh masyarakat.
Tak hanya itu, BCA juga punya Central Capital Ventura sebagai perusahaan modal ventura untuk melakukan investasi dalam perusahaan rintisan (start up) di segmen teknologi keuangan (financial technology) dan BCA Finance Ltd yang didirikan di Hong Kong dan bergerak di bisnis kiriman uang dan pembukaan rekening Tahapan.
Sehubungan dengan itu, BCA harus meningkatkan penerapan ERM. Yang dimaksudkan dengan ERM adalah kemampuan perusahaan untuk memahami dan mengendalikan tingkat risiko yang diambil dalam mengelola strategi bisnis dilengkapi dengan akuntabilitas risiko.
ERM dapat menambah perspektif dan fokus pada manajemen risiko di seluruh lini perusahaan. Industri perbankan ditambah lagi anak perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan, perasuransian, modal ventura mengandung aneka risiko: risiko kredit, risiko operasional, risiko pasar, dan risiko likuiditas. Penerapan ERM itu akan mendorong BCA dapat melakukan bisnis dengan cantik mengingat aneka risiko dapat dikelola dengan jitu.
Dengan aneka jurus demikian, bisnis BCA akan kian mencorong dan gemerincing di masa mendatang. (*)
Penulis adalah pengamat perbankan