Jakarta – Industri keuangan nasional khususnya perbankan, saat ini masih dibayangi oleh aksi kejahatan yang memanipulasi informasi dengan tujuan mengeruk keuntungan (fraud) yang dilakukan oleh pihak internal maupun eksternal.
Kondisi ini tentu sangat merugikan pihak manajemen perbankan itu sendiri. Oleh sebab itu, hal tersebut harus menjadi perhatian utama pelaku industri keuangan untuk mengantisipasinya baik dari segi pengawasan maupun meningkatkan kewaspadaan.
Kendati demikian, menurut Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Krisna Wijaya, meski pengawasan sudah kuat, namun aksi fraud masih saja terjadi. Dia berharap, ke depan, industri keuangan bisa meningkatkan governancenya dan kehati-hatian (prudent).
“Jika tidak hati-hati, akan berpeluang memunculkan tindakan fraud di perbankan. Apalagi, risiko yang muncul akibat penyalahgunaan fraud dari ulah manusia telah memberikan kerugian besar bagi perusahaan maupun nasabah,” ujarnya di Jakarta, Rabu, 1 Juni 2016.
Dia menyebutkan, bahwa kejadian fraud bisa saja dilakukan oleh karyawan perusahaan itu sendiri dengan orang luar maupun akibat kerjasama antara karyawan dengan orang luar. Namun kendati perusahaan itu sudah melakukan manajemen anti-fraud, tetap saja masih terjadi berulangkali.
“Contohnya, yang terjadi pada April lalu ketika salah satu bank daerah terkena risiko kredit gara-gara adanya kredit fiktif pada program kredit usaha rakyat (KUR) senilai Rp19 miliar,” tegasnya.
Melihat hal tersebut, dirinya sangat menyayangkan adanya aksi fraud di program KUR. Mengingat, KUR merupakan program pemerintah dengan total dana yang disiapkan disepanjang 2016 ini mencapai puluhan triliun rupiah. Apalagi 90% dari total dana KUR tersebut akan disalurkan oleh bank milik negara.
“Nah, jangan sampai peluang yang diberikan pemerintah untuk meningkatkan kredit UMKM menjadi bomerang bagi kita karena pihak industri keuangan tidak prudent pada penyaluran kredit di sektor tersebut,” ucap Krisna.
Selain itu, ada juga ancaman fraud yang datang dari layanan bank di alat pembayaran menggunakan kartu (APMK). Berdasarkan data kepolisian selama tiga tahun terakhir, ada 5.500 kasus skimming di dunia. Sebanyak 1.549 kasus di antaranya terjadi di Indonesia.
“Itu tentu sangat mengkhawatirkan. Makanya transaksi APMK tetap berpotensi melahirkan fraud. Apalagi masih ada ancaman lain dalam layanan kartu kredit seperti terkait aturan mengenai kewajiban perbankan melapor data transaksi kartu kredit kepada DJP Kementerian Keuangan,” paparnya.
Dengan kondisi itu, kata dia, jika tidak diantispasi maka menjadi tantangan besar bagi perbankan terutama atas potensi berkurangnya nasabah kartu kredit. “Masih maraknya kejadian fraud, sistem yang ada saat ini mulai dipertanyakan tentang efektifitas desain dan praktik sistem manajemen anti-fraud perusahaan tersebut,” tutupnya. (*)
Editor: Apriyani K