Bansos, UMKM dan Asuransi Kegagalan Panen

Bansos, UMKM dan Asuransi Kegagalan Panen

Oleh Babay Parid Wazdi

MENGUTIP pernyataan menteri keuangan Sri Myulyani dari www.cnnindonesia.com, pemerintah telah menggelontorkan anggaran dalam APBN 2023 sebesar Rp1.060 triliun untuk bantuan sosial (bansos) hingga subsidi. Dana Rp1.060 triliun itu di antaranya mulai dari Rp27,9 triliun untuk Program Keluarga Harapan (PKH) hingga Rp44,3 triliun bagi kartu sembako.

Ada juga bansos pangan tahap I senilai Rp8,2 triliun dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Rp42,4 triliun, bantuan ternak Rp235,3 triliun, bantuan alat dan mesin pertanian Rp681,2 triliun. Dan pada tahun 2024 ini kita terinformasikan dengan pengucuran bansos yang cukup besar, yakni Rp497 triliun.

Sekalipun bansos yang sudah tersalurkan dalam jumlah angka yang signifikan. Namun, nyatanya bansos tersebut belum dapat menjadi motor untuk menurunkan tingkat kemiskinan di tanah air. Mengacu kepada data BPS, angka kemiskinan di tanah air nyatanya tidak mampu ditekan di bawah 25,9 juta pada bulan Maret 2023. Kebijakan menggelontorkan bansos dalam jumlah besar tidak membuat jumlah masyarakat miskin turun signifikan.

Hal itu juga sejalan dengan pendapat Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal dan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti bansos dan subsidi belum mampu secara efektif untuk mengungurangi kemiskinan karena bansos dan subsidi lebih bersifat konsumtif dan rawan salah sasaran.

Baca juga: Pengembangan UMKM Berbasis Risiko Likuiditas

Penulis mencoba berpikir  agar APBN yang kita miliki digunakan lebih produktif dan berdaya guna untuk sebesar-besarnya  kemakmuran bangsa Indonesia, sesuai dengan amanah UUD 45, sehingga produktifitas meningkat dan angka kemiskinan menurun signifikan.

Dana perlindungan sosial tersebut tentunya mengalir ke masyarakat termasuk ke pelaku UMKM. Baik dalam bentuk bantuan yang diterima langsung oleh pelaku UMKM, maupun yang mengalir secara tidak langsung seperti dari belanja masyarakat ke pelaku UMKM. Pada dasarnya uang itu berputar dan menjadi motor penggerak ekonomi di masyarakat.

Salah satu sektor usaha UMKM yang harus kita perhatikan adalah usaha di sektor pertanian. Indonesia pada dasarnya juga memiliki ketergantungan yang besar dalam pemenuhan kebutuhan pertanian terutama pangan dan sektor pendukung pangan dari negara lain. Mulai dari kebutuhan akan bahan baku agro input seperti pupuk, hingga kebutuhan pangan lainnya yang diimpor langsung seperti beras, bawang putih, kedelai, gandum, maupun bahan baku pangan untuk kebutuhan industri lainnya.

Kita mesti membuat kebijakan yang tepat jangan sampai seperti terjadi di Kuba ahir-akhir ini. Negara Kuba menggelontoran subsidi yang besar dengan memberikan makan gratis kepada masyarakatnya, justru saat ini negara tersebut dilanda krisis pangan. Kabar tersebut tentunya menjadi temuan yang dijadikan sebagai tolak ukur pembuat kebijakan di tanah air. Ketergantungan Kuba terhadap pemenuhan kebutuhan pangan dari negara lain (impor), membuat kebijakan bantuan sosial negara tersebut sangat rentan memicu krisis pangan, karena kebutuhan pangannya masih sangat bergantung dari negara lain sebagai pemasok atau produsennya.

Selain itu, Indonesia juga masih sangat bergantung pada teknologi pangan atau pertanian dari negara lain. Sehingga  Indonesia pada dasarnya memiliki masalah,  yakni belum sepenuhnya memiliki fundamental ekonomi yang kokoh dalam menjaga ketahanan pangan tanah air. Ini bisa menjadi kabar buruk, sehingga kita seharusnya bisa memetakan sejumlah masalah ketahanan pangan yang berpeluang terjadi di masa yang akan datang.

Ada keterkaitan yang kuat antara ketahanan pangan yang digagas dengan alokasi subsidi dengan asuransi pertanian dan dorongan memperkuat atau menambah jumlah pelaku UMKM, yang nantinya akan berkorelasi terhadap kebijakan bantuan sosial yang lebih berdaya guna baik dalam menjaga daya beli masyarakat, menjaga kestabilan harga produk pertanian, penyerapan tenaga kerja, dan mendorong UMKM naik kelas, maupun menekan angka kemiskinan

Alasan bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah belakangan ini lebih banyak dipicu oleh melemahnya daya beli masyarakat, yang salah satunya diakibatkan oleh kenaikan harga kebutuhan input produksi, maupun kenaikan harga produk pertanian seperti beras dan sejumlah kebutuhan pokok lainnya. Dimana sisi persediaan atau supply yang menjadi pemicu utama kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat belakangan ini.

Persediaan atau supply tersebut dipicu oleh memburuknya cuaca yang mengganggu produksi, kebijakan larangan ekspor produsen bahan pangan pokok negara lain seperti India, hingga masalah kenaikan harga pupuk yang sulit ditekan karena pasokan bahan baku pupuk sebagian juga harus dimpor dari negara lain seperti Rusia.

Dari sekian banyak masalah tersebut, ada masalah yang jelas kita sendiri tidak mampu mengontrolnya seperti menghentikan perang Rusia dan Ukraina, atau juga mengatasi gangguan cuaca akibat perubahan iklim. Namun untuk gangguan cuaca kita bisa melakukan pendekatan kebijakan untuk meminimalisir dampak kenaikan harga pangan dalam jangka pendek, sekaligus menumbuhkan pelaku UMKM baru di sektor pertanian.

Langkah-langkah kebijakan yang bisa kita ambil adalah sebagai berikut:

Pertama, dengan menetapkan komoditas pangan apa saja yang menjadi skala prioritas pembangunan pertanian. Misalnya kita  merekomendasikan komoditas pangan yang harus diprioritaskan adalah penyediaan kebutuhan pangan pokok seperti beras, singkong, sorgum, jagung, gandum, hingga kedelai, serta sejumlah komoditas pangan hortikultura seperti cabai, bawang, tomat hingga kentang.

Skala prioritas kebijakan ketahanan pangan kedepan adalah swasembada. Terlebih swasembada untuk komoditas pangan yang sebagian kecil atau mayoritas dipenuhi dengan cara diiimpor. Menetapkan komoditas yang akan dikembangkan kedepan juga harus diikuti dengan substitusi hingga edukasi kepada masyarakat untuk mengkonsumsi sumber bahan pangan pokok lainnya.

Langkah kedua adalah dengan menyediakan asuransi kegagalan panen. Kita perlu melindungi para petani kita dari kerugian yang diakibatkan dari gagal panen. Selain itu, asuransi bukan hanya melindungi para petani dari kerugian, lebih dari itu menggaransi bahwa menjadi petani akan terlindungi karena ada asuransi. Dengan asuransi, harapannya animo masyarakat yang ingin jadi petani meningkat.

Untuk cara yang kedua ini dibutuhkan kerangka kebijakan tambahan pada beberapa kementrian  seperti Kementrian Koordinator Keuangan, Kementrian BUMN sebagai pengelola BUMN Asuransi, Kementrian Koperasi & UMKM, dan Kementrian Pertanian. Bentuk kerja sama contract farming yang memang feasible, diukur dengan kelayakan program berdasarkan kajian menyeluruh dengan meminimalisir potensi kegagalan jika diimplementasikan.

Langkah ketiga, alokasikan anggaran subsidi asuransi yang disesuaikan antara rencana kebutuhan akan pasokan pangan serta rencana tanam yang sudah terukur. Menurut data Kementrian Pertanian luas sawah di Indonesia adalah 7.463.987 ha. Biaya permusim tanam per hektare adalah Rp12,9 juta/ha. Seandainya 10% dari luas sawah/lahan itu mengalami kegagalan panen, yakni 789.000 ha dan subsidi kegagalan panen sebesar Rp10 juta/ha maka pemerintah hanya mengeluarkan anggaran subsidi kegagalan panen sebesar Rp7,89 triliun/musim tanam atau Rp15,78 triliun/tahun.

Angkanya sangat kecil dibandingkan dengan kebijakan untuk menggelontorkan subsidi yang nilainya lebih dari Rp1.000 triliun, namun justru kurang efektif dalam menyerap tenaga kerja apalagi menekan angka kemsikinan. Luas lahan sawah sebesar 7,46 juta hektare bisa mempekerjakan minimal 4  tenaga kerja, atau sekitar hampir 30 juta petani dan buruh tani. Belum lagi memperhitungkan areal atau lahan baru yang digunakan sebagai lahan tanaman pangan pengganti komoditas pangan impor.

Baca juga: Meningkatkan Kontribusi UMKM terhadap PDB Melalui Transformasi Digital

Dengan asuransi kegagalan panen, pemerintah akan lebih mudah menciptakan generasi petani baru yang akan meneruskan petani sebelumnya. Selanjutnya, petani tidak mudah putus asa dan memiliki jaminan finansial untuk menanam kembali tanamannya meskipun telah gagal sebelumnya. Setidaknya masih tetap ada upaya untuk menjaga ketersediaan bahan pangan pokok, menjaga agar harga bahan pokok tetap bisa dikendalikan (inflasi), dan tidak membuat petani yang gagal panen putus asa untuk tetap menjadi petani.

Langkah keempat, adalah menjadikan produksi lahan pertanian tadi digunakan sebagai bantuan pangan ke masyarakat. Sebagai contoh, selama ini kita selalu menjadikan impor beras digunakan sebagai program bantuan pangan ke masyarakat. Nah, kedepan seharusnya adalah produk pangan yang dihasilkan oleh petani kita sendiri.

Sehingga dengan sedikit alokasi anggaran subsidi yang dialihkan untuk asuransi kegagalan panen. Ada multiplier efek besar yang kita dapatkan. Mulai dari ketahanan pangan yang lebih terjaga, penyerapan tenaga kerja yang tinggi, UMKM naik kelas, kemandirian pangan dan melepaskan ketergantungan impor, menjaga agar inflasi tetap terkendali, menekan pengangguran dan kemiskinan, hingga menghemat anggaran subsidi yang tentunya bisa digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat dan berdaya guna lainnya.

Akhir kata, mencintai UMKM itu berkah dan mulia.

Penulis adalah Dirut Bank SUMUT dan Pemerhati UMKM

Related Posts

News Update

Top News