Ketersediaan likuiditas bank syariah yang lebih mengutamakan dana pihak ketiga diharapkan bisa didukung pasar uang. Ria Martati
Jakarta–Menyusul ditandatanganinya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) implementasi mini master repurchase agreeement syariah (Mini MRA) oleh 18 bank syariah, diharapkan bisa mendukung suplai likuiditas.
Instrumen ini ke depan juga diharapkan dapat dilakukan antara bank syariah dengan bank konvensional. Tujuannya adalah menangani masalah likuiditas di perbankan syariah serta mendorong peningkatan transaksi di pasar Sukuk dan PUAS (Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah).
Cekaknya likuiditas dalam industri perbankan syariah masih merupakan salah satu tantangan industri perbankan syariah. Per April 2015, rasio pembiayaan terhadap simpanan (FDR) di bank syariah tercatat mencapai 94,18%.
Kendala yang dihadapi bank syariah dalam soal likuiditas ini antara lain masih terbatasnya credit line dan credit limit antarpelaku. Selain itu limit likuiditas yang dapat diberikan induk relatif terbatas dan sangat berkaitan dengan kondisi likuiditas induk, dan tidak semua bank umum syariah memiliki induk sehingga kebutuhan likuiditas yang mendesak belum tentu dapat diatasi dalam waktu singkat. Kemudian pasar sekunder sukuk yang terbatas serta deposito antarbank yang relatif mahal dan berkaitan dengan ada atau tidak adanya credit line pun turut menjadi tantangan.
Ahmad Badawi, ketua Indonesia Islamic Global Market Association menjelaskan, kelengkapan instrumen likuiditas bank syariah masih sangat minim, antara lain SIMA (Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank), SBIS, dan SBSN. Namun, instrumen-instrumen tersebut tidak bisa memenuhi semua kebutuhan bank syariah dan tidak terlalu liquid, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan likuiditas dalam waktu segera. Dengan adanya fasilitas mini MRA, transaksi juga lebih aman karena menggunakan underlying. Berbeda dengan SIMA yang hanya mengandalkan credit line.
“Sekarang tanpa itu pun, kita bisa karena kita kan jual dengan janji kita beli kembali. Jadi orang yang meminjamkan duit itu aman. Barangnya bisa dijual,” tukasnya di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dengan adanya perjanjian mini MRA tersebut, volume perdagangan di pasar uang syariah diharapkan meningkat. Jika sebelumnya penempatan harian di BI antara Rp9 triliun-Rp10 triliun, setelah perjanjian mini MRA itu diproyeksikan 30-40% diantaranya akan bergeser ke sukuk.
Direktur Pembiayaan Syariah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan, Suminto berharap perjanjian mini MRA tersebut dapat signifikan meningkatkan kepemilikan sukuk oleh perbankan syariah.
Pasalnya, tahun ini, target sukuk yang dirilis Pemerintah sekitar Rp100 triliun jauh lebih meningkat dibandingkan tahun lalu. Tahun ini target defisit 1,9% dalam APBNP 2015, untuk membiayai defisit itu dianataranya dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). 20% dari SBN itu adalah SBN Syariah.
“Ya kan sukuk negara kita yang domestik itu kan holder-nya memang masih mayoritas konvensional, yang syariah masih kecil, mudah-mudahan dengan semacam MRA ini dapat mendorong,” kata Suminto.
Sebagai gambaran, saat ini 12 bank umum syariah, dan 22 unit usaha syariah perbankan hanya memiliki 15% dari total sukuk berharga syariah negara. Sementara 85% sisanya dipegang oleh bank konvensional. Secara total, industri perbankan syariah per April 2015 hanya memiliki surat berharga syariah senilai Rp12,86 triliun, dengan rincian surat berharga pasar keuangan syariah senilai Rp230 miliar, sementara surat berharga pasar modal syariah senilai Rp12,63 triliun.
Sementara pelaku industri bank syariah menyambut baik MoU tersebut, kendati mengaku belum tertarik untuk menindaklanjuti MoU tersebut dengan perjanjian bilateral untuk mini MRA dengan bank lain.
Direktur Utama PT BNI Syariah Dinno Indiano mengatakan saat ini kondisi likuditas masih berlimpah. “Belum ke sana, karena FDR saya masih 98-an, tapi saya masih punya room, ada ekses lah, masih cukup,” kata dia.
Pun demikian dengan PT Bank Syariah Mandiri, Tbk (BSM) yang mengaku masih memiliki likuiditas longgar. “Kami biasanya jadi net lender, biasanya kita kasih kalau di transaski. FDR kita 83%,” ucap Direktur ama Utama BSM Agus Sudiarto. (*)
@ria_martati