Poin Penting
- Bank Muamalat menyatakan kesiapannya jika ditunjuk pemerintah sebagai Bank Haji dan Bank Wakaf Nasional.
- Bank wakaf ke depan diharapkan tidak sekadar menghimpun dana, tapi juga mengelolanya secara produktif dan berdaya ekonomi.
- Pengamat menilai lebih efisien memperkuat Bank Muamalat sebagai pilot project ketimbang membentuk lembaga baru.
Jakarta – Bank Muamalat menyatakan siap jika pemerintah menunjuknya menjadi Bank Haji dan Bank Wakaf Nasional. Dengan rekam jejak panjang dalam pengelolaan dana umat sejak 1992, Bank Muamalat dinilai memiliki modal historis, infrastruktur, dan visi kelembagaan yang paling sesuai untuk mengemban peran tersebut.
“Kalau bicara pilot project untuk Bank Haji dan Bank Wakaf secara nasional, dan kalau bicara siapa yang paling cocok, saya yakin Bank Muamalat. Karena sejak awal DNA-nya sudah memiliki karakteristik haji dan wakaf. Kalau peluang itu dibuka oleh pemerintah, oleh regulasi yang ada, Bank Muamalat siap menjalankannya,” ujar Direktur Utama Bank Muamalat, Imam Teguh Saptono, dalam Forum Policy Dialogue Bank Haji & Wakaf: Amanah Asta Cita Prospek dan Tantangan, di Jakarta, Kamis, 23 Oktober 2025.
Imam menjelaskan bahwa sejak awal berdiri, Bank Muamalat memang lahir dari semangat umat dan keterlibatan langsung jemaah haji Indonesia. Saat itu, lebih dari 300 ribu jemaah berpartisipasi melalui pembelian saham senilai Rp10 ribu per lembar.
“Pendiri dan pemegang saham awalnya mayoritas berasal dari jemaah haji Indonesia. Artinya, Bank Muamalat lahir dari semangat keumatan dan kontribusi jemaah yang mengikhlaskan dananya untuk membangun bank syariah pertama di Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: Penguatan Bank Syariah Jadi Jalan Realistis Kelola Dana Haji dan Wakaf
Imam menilai, jika pemerintah kini tengah mempertimbangkan pembentukan Bank Haji dan Bank Wakaf Nasional, akan jauh lebih efisien bila dikembangkan dari lembaga yang sudah ada dan memiliki DNA kuat di bidang tersebut.
“BMI lahir bahkan sebelum Undang-Undang Perbankan Syariah (2008) dan Undang-Undang Wakaf (2004). Jadi DNA-nya sudah terbentuk jauh sebelumnya,” jelasnya.
Menurutnya, sejak awal Bank Muamalat memang memiliki keterkaitan historis dengan penyelenggaraan haji. Karena itu, lembaga yang sudah mapan dan memiliki infrastruktur siap dinilai lebih realistis untuk menjalankan mandat sebagai Bank Haji maupun Bank Wakaf.
Tantangan Jadi Bank Haji dan Wakaf
Namun, Imam juga menyoroti sejumlah tantangan dalam mewujudkan bank berbasis wakaf. Salah satunya, karakteristik aset wakaf yang tidak dapat dijaminkan, sehingga menyulitkan proses pembiayaan dengan skema perbankan konvensional.
“Banyak aset wakaf yang potensial, tapi tidak bisa mendapatkan akses pendanaan formal karena status tanahnya wakaf. Ini yang perlu diselesaikan secara regulatif,” paparnya.
Lebih lanjut, Imam menilai konsep bank haji tidak seharusnya berhenti pada fungsi administratif seperti pendaftaran dan pembayaran biaya haji.
“Kalau hanya bicara pendaftaran atau pembayaran, bank yang ada sekarang pun bisa. Tapi kalau ingin membangun ekosistem haji yang berdampak ekonomi, harus ada satu bank yang ditunjuk dan diberi KPI khusus untuk mengembangkan ekosistem haji secara menyeluruh,” tuturnya.
Menurutnya, pengelolaan dana haji ke depan perlu mencakup digitalisasi sistem pembayaran yang terhubung langsung dengan Arab Saudi, mengingat besarnya nilai transaksi jamaah Indonesia selama ibadah haji.
“Belanja jamaah Indonesia di Tanah Suci sangat besar, belum lagi dari sisi supply chain seperti makanan, katering, hingga logistik. Indonesia seharusnya bisa berperan di situ,” ujarnya.
Imam menegaskan, bank haji sangat relevan dikembangkan karena lembaga seperti Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) bukanlah bank sehingga tidak dapat melakukan penghimpunan dana, pembiayaan, maupun layanan pembayaran secara langsung.
“Untuk membangun ekosistem haji yang terintegrasi, BPKH tetap membutuhkan entitas perbankan sebagai mitra strategis,” tegasnya.
Selain Bank Haji, Imam juga menilai perlunya Bank Wakaf agar pengelolaan dana wakaf lebih produktif.
“Selama ini bank syariah baru berperan sebagai penerima atau penghimpun dana wakaf, belum sampai pada pengelolaan yang bersifat aktif dan produktif,” ujarnya.
“Pertanyaannya, apakah kita ingin wakaf tetap seperti sekarang hanya menghimpun dan menyalurkan, atau ingin mengembangkannya agar benar-benar produktif? Untuk itu, perlu aturan khusus agar bank wakaf bisa menyalurkan pembiayaan tanpa melanggar prinsip kehati-hatian,” imbuhnya.
Fungsi Sosial Masuk dalam Ukuran Kesehatan Bank Syariah
Dalam kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, Irfan Syauqi Beik, menilai dari sisi regulasi, peluang penguatan lembaga eksisting cukup besar, salah satunya dengan menjadikan bank syariah sebagai nazhir atau pengelola wakaf.
“Kalau ada bank syariah yang berani menjadi nazhir, performanya pasti berbeda. Secara hukum sebenarnya sudah memungkinkan. Tinggal kemauan dan komunikasi politik saja,” ungkapnya.
Baca juga: Presiden Prabowo Minta Biaya Haji Diturunkan Lagi
Menurut Irfan, langkah ini dapat ditempuh tanpa perlu revisi besar terhadap undang-undang, cukup melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atau Peraturan Presiden (Perpres). Ia juga mengusulkan agar fungsi sosial bank syariah dimasukkan ke dalam indikator tingkat kesehatan bank oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Selama ini ukuran kesehatan bank hanya empat: CAR, NPF, rentabilitas, dan likuiditas. Harusnya ada yang kelima, yaitu fungsi sosial. Bank syariah tidak bisa disebut sehat kalau alergi terhadap gerakan wakaf,” katanya.
Lebih lanjut, Irfan menilai langkah paling cepat dan efisien untuk memperkuat ekosistem haji dan wakaf nasional adalah menjadikan Bank Muamalat sebagai pilot project.
“Tidak perlu membangun lembaga baru, cukup menambahkan ornamen atau mandat baru di Bank Muamalat. Biayanya tidak besar, waktunya lebih cepat, dan infrastrukturnya sudah siap,” pungkasnya. (*) Ayu Utami









