Jakarta – Bank Mandiri memproyeksikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI Rate masih akan ditahan pada level 6 persen di Maret 2024.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menyatakan hal ini disebabkan karena BI masih mempertimbangkan tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
“BI saya rasa challenge-nya kan selalu BI kan di how to manage inflation and currency kan. Currency itu karena nanti juga akan berimplikasi kepada imported inflation,” ujar Andry kepada awak media di Jakarta, dikutip, Selasa, 19 Maret 2024.
Baca juga: Menavigasi Strategi Bisnis Perbankan di Era Suku Bunga Tinggi
Sehingga, lanjutnya, ketersediaan dolar di dalam negeri perlu dijaga agar tidak mengering. Apalagi, kekhawatiran yang masih membayangi terhadap laju inflasi di AS yang belum mencapai target penurunannya.
“Kalau misalnya kemudian inflasi enggak turun malah naik terus, kan market akan realize lagi nih. Nah capital inflow-nya kan jadi makin kecil gitu yang berpengaruh ke supply dolar-nya. Jadi supply dolar ke dalam negeri kan tinggal dari neraca perdagangan kita saja, otomatis kan berharap dari komoditas,” jelasnya.
Lebih lanjut, kata Andry, meski komoditas RI seperti nikel dan batu bara mulai membaik, namun harga CPO juga naik yang berimplikasi pada impor minyak yang meningkat. Pasalnya, konsumsi masyarakat terhadap BBM masih tinggi.
“Orang Indonesia itu sukanya jalan-jalan. Kalau jalan-jalan gunain oil juga kan, BBM. Impor BBM juga bisa tinggi. Nah itu yang harus di-manage tuh. How to forecast, kemudian mitigasi konsumsi BBM,” jelasnya.
Terlebih jika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka kebutuhan valas untuk impor akan semakin besar. Sehingga, BI perlu menjaga dolar dan nilai tukar rupiah, hal ini yang menjadi faktor BI masih mempertahankan suku bunga acuannya.
Baca juga: Terkuak! Ini Alasan BI Belum Berani Pangkas Suku Bunga Acuan
Selain itu, inflasi pangan yang juga menjadi kekhawatiran. Andry mencatat, di Januari 2024 harga beras naik sebesar 25 persen secara tahunan (yoy), dibandingkan dengan 2023 yang sebesar 7 persen.
“Jadi kan pressure-nya di situ. Pressure untuk inflasinya di situ. Makanya tuh harus diademin. How to strike balance juga, bagaimana menyeimbangkan antara memberikan insentif buat para produsen pangan dan at the same time juga mengurangi tekanan terhadap inflasi karena memang tetap perlu juga insentif kan,” pungkasnya. (*)
Editor: Galih Pratama