Bank Jadi Lahan Subur TPPU dan TPPT, Bankir Ini Buka Sebabnya

Bank Jadi Lahan Subur TPPU dan TPPT, Bankir Ini Buka Sebabnya

Jakarta – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan ada Rp1.459 triliun total nominal transaksi keuangan mencurigakan selama 2024.

Total Rp1.459 triliun ini, terdiri atas tiga jenis dugaan tindak pidana asal, yakni tindak pidana korupsi sebesar Rp984 triliun (67,43 persen), perpajakan Rp301 triliun (20,64 persen), dan perjudian Rp68 triliun (4,67 persen).

Sementara itu, sepanjang Januari sampai Juni 2025, PPATK telah mencatat 85.514 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM), atau 32,9 persen dari total 21 juta lebih laporan yang masuk.

Dari total 85.514 LTKM, perjudian menjadi tindak pidana asal terbesar sebagai sumber dana pencucian uang, dengan porsi 48,2 persen. Berikutnya, ada penipuan dengan persentase 16,7 persen, kejahatan lainnya 13,8 persen, korupsi 4,7 persen, dan perbankan 4 persen.

LTKM yang dilaporkan oleh pihak pelapor tersebut meningkat 40,36 persen dalam tiga tahun terakhir. Di mana, 67,69 persen LTKM didominasi oleh sektor perbankan dengan tiga besar tindak pidana asal yaitu perjudian, penipuan, dan indikasi tindak pidana lain yang diancam 4 tahun penjara atau lebih.

Baca juga: Gaduh Dompet Digital Bakal Diblokir, Ini Penjelasan PPATK

Menanggapi data yang ada, Senior Vice President Bank Mandiri, Anzar Mulyantoro menyatakan bahwa lembaga perbankan seringkali dipandang sebagai pintu masuk utama dari penempatan dana yang terhubung dengan tindak pidana.

Oleh karenanya, dibutuhkan proses identifikasi, penilaian, dan mitigasi risiko yang mumpuni untuk mewujudkan sistem keuangan yang kuat, reliable, dan berkelanjutan.

Namun demikian, teori tak semudah praktek di lapangan. Ada sejumlah tantangan menghantui industri perbankan dalam mengimplementasikan pencegahan tindak pidana pencucian uang (TPPU), tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT), dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal (PPSPM).

“Kalau kita lihat banyak challenges yang kita hadapi dalam mengoptimalkan penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT). Saya coba bagi dua dari sisi internal perbankan maupun yang kita hadapi di luarnya,” kata Anzar dalam webinar bertema “Tren Modus dan Skema Pencucian Uang Terbaru: Strategi Identifikasi, Mitigasi, dan Penegakan Hukum” yang diadakan OJK Institute, Kamis, 18 September 2025.

Baca juga: Satgas TPPU Prioritaskan Usut Skandal Emas Bea Cukai Rp189 T

Tantangan internal pertama, yakni inovasi untuk menciptakan keberagaman produk dan layanan perbankan bagi nasabah, turut membuka peluang bagi pelaku TPPU, TPPT, dan PPSPM untuk menyamarkan asal usul dana.

“Di saat bersamaan akan membuka peluang bagi pelaku TPPU, TPPT untuk melakukan penyamaran transaksinya yang terkait dengan pencucian uang atau pendanaan terorisme yang memanfaatkan layanan perbankan,” jelas Anzar.

Tantangan internal kedua, masih lemahnya proses pengenalan nasabah atau know your customer (KYC). Menurut Anzar, proses KYC di perbankan selama ini hanya terbatas pada pengenalan informasi nasabah, tanpa mengetahui lebih jauh terkait informasi transaksi yang dilakukan nasabah, seperti kepada siapa nasabah bertransaksi.

Ia mengatakan, perlu dilakukan penguatan pada sisi front line atau bisnis perbankan yang terhubung dengan proses KYC. KYC yang kuat akan menguntungkan perbankan dari sisi pemberian layanan yang komprehensif kepada nasabah maupun monitoring terhadap profil nasabah itu sendiri.

Tantangan internal ketiga, yaitu terbatasnya kapasitas dan kompetensi SDM. Anzar menerangkan, masih ada ketidakseragaman pemahaman pegawai dalam penerapan APU PPT dan PPSPM, khususnya terkait transaksi keuangan menyimpang (TKM).

“Terkait pemahaman seperti yang tadi saya sampaikan, terkait dengan KYC sendiri, pemahamannya adalah KYC adalah yang terpenting nasabah onboard, dana masuk, selesai. Padahal tidak seperti itu,” cetusnya.

“Kita harus tahu sebenarnya customer of our customer, di situ adalah pintu masuk untuk kita membuat satu pipeline tersendiri dalam melakukan bisnis,” sambung Anzar.

Baca juga: PPATK Klaim Pemblokiran Rekening Pasif Tekan Transaksi Deposit Judol

Sedangkan dari sisi eksternal, tantangan pertama yakni keterbatasan akses ke informasi lintas lembaga. Khususnya soal verifikasi legalitas/perizinan korporasi, beneficial owner, serta daftar pihak berisiko tinggi dengan kualitas data yang memadai.

Kedua, kesenjangan adaptasi regulasi terhadap inovasi keuangan. Dimana, kecepatan inovasi acapkali melampaui kecepatan penyesuaian kerangka regulasi, yang membutuhkan proses kehati-hatian, koordinasi lintas lembaga, dan kajian risiko yang mendalam.

Kemudian, tantangan eksternal berikutnya adalah evolusi modus TPPU, TPPT, dan PPSPM yang semakin kompleks. “Sehingga perbankan harus terus menyesuaikan deteksi TKM agar tetap adaptif dan relevan,” tegas Anzar.

Untuk bisa menutup celah kelemahan yang ada, Anzar mengungkapkan, perbankan perlu menerapkan 5 strategi penguatan program APU PPT dan PPSPM.

Pertama, penguatan organisasi secara berkala agar terus sesuai dengan perkembangan tren bisnis dan regulasi. Kedua, kembangkan kapasitas KYC dan reporting. Ketiga, memperkuat manajemen risiko dan kontrol. Keempat, berinvestasi pada sistem teknologi yang kuat. Dan kelima, kembangkan kompetensi dan budaya risiko TPPU, TPPT, dan PPSPM pada SDM. (*) Steven Widjaja

Related Posts

News Update

Netizen +62