Oleh Telisa Aulia Falianty, Guru Besar FEB UI dan Senior Consultant BRI Danareksa Sekuritas dan Wijianto, Alumni Program Studi S2 MPKP FEB UI
EMAS telah lama menjadi aset strategis dalam berbagai sektor ekonomi, mulai dari cadangan devisa hingga investasi individu. Dalam konteks keuangan modern, emas tidak lagi hanya berperan sebagai komoditas fisik, tetapi juga sebagai instrumen keuangan melalui sistem penyimpanan dan pembiayaan berbasis emas, yang kini diatur melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 17 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Bulion.
Penerapan regulasi ini menandai era baru bagi sektor perbankan di Indonesia. Aturan ini membuka peluang besar untuk diversifikasi produk keuangan, namun tentu tidak tanpa tantangan.
Dalam hal ini, emas bullion menjadi instrumen yang berpotensi mendorong inovasi, tetapi juga menguji ketangguhan perbankan dalam beradaptasi dengan dinamika pasar global dan regulasi domestik. Artikel ini mengeksplorasi peluang dan tantangan dimulainya ekosistem bank emas di Indonesia.
Regulasi mengenai emas bullion, terutama setelah pengesahan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 17 Tahun 2024 yang meruapkan turunan dari UU No 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), menjadi titik balik penting dalam ekosistem bank emas di Indonesia.
Regulasi ini, yang berfokus pada pengembangan kegiatan usaha berbasis emas di Lembaga Jasa Keuangan (LJK), membuka peluang besar sekaligus tantangan bagi sektor perbankan dan non bank.
Perbankan dan IKNB kini menghadapi peluang dan tantangan untuk mengadopsi kerangka kerja baru yang mencakup simpanan, pembiayaan, perdagangan, dan penitipan emas. Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi dampak regulasi ini terhadap praktik perbankan, potensi peluang ekonomi, dan risiko yang mungkin timbul.
POJK Nomor 17 Tahun 2024 menetapkan kerangka hukum untuk LJK dalam menyelenggarakan kegiatan usaha bulion, yang mencakup simpanan emas, pembiayaan emas, perdagangan emas, penitipan emas, serta kegiatan lain yang mendukung aktivitas tersebut.
Aturan ini hadir sebagai respons terhadap kebutuhan penguatan sektor keuangan, sebagaimana diamanatkan oleh UUP2SK. Indonesia memiliki potensi besar sebagai salah satu produsen emas dunia.
Namun, pemanfaatan emas sebagai aset strategis dalam sistem keuangan masih belum optimal. Secara garis besar, kegiatan usaha bulion yang dimaksud didalam UU P2SK merujuk pada kegiatan usaha yang berkaitan dengan emas dalam bentuk simpanan, POJK 17/2024 bertujuan untuk menjawab tantangan ini, sekaligus memberikan peluang bagi perbankan dan IKNB.
Baca juga: Diusulkan jadi Induk Bank Emas, Bos BSI: Insya Allah Kita Siap
Simpanan dan Pembiayaan Emas: Kriteria LJK Penyelenggara Kegiatan Bulion
Simpanan emas adalah layanan penyimpanan emas yang terstandardisasi, di mana masyarakat dapat menyimpan emas mereka di lembaga jasa keuangan. Dalam aturan ini, simpanan emas dapat diklasifikasikan sebagai unallocated account, yaitu emas yang tidak dimiliki secara fisik oleh nasabah tetapi menjadi hak klaim mereka.
Fasilitas ini memberikan fleksibilitas bagi LJK untuk menggunakan emas yang disimpan untuk aktivitas pembiayaan dan perdagangan. Namun, tantangan utama dalam penyelenggaraan simpanan emas adalah penerapan tata kelola yang transparan dan manajemen risiko yang ketat, khususnya terkait fluktuasi harga emas. POJK mensyaratkan pengukuran dan penyajian transaksi harus sesuai dengan standar akuntansi keuangan, yang menjadi langkah penting dalam menjamin integritas sistem ini.
Tentu pembiayaan emas memungkinkan nasabah memperoleh pinjaman dalam bentuk emas, yang harus dikembalikan dalam bentuk emas pula. Pembiayaan ini memberikan solusi unik bagi nasabah yang membutuhkan emas untuk berbagai keperluan, seperti investasi atau kebutuhan bisnis.
LJK yang menyelenggarakan pembiayaan emas diwajibkan untuk menyediakan agunan, seperti kas, deposito berjangka, atau surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah. POJK juga menetapkan bahwa nilai agunan harus minimal 100 persen dari nilai pembiayaan emas. Selain itu, aturan ini mengatur batas minimum gramasi emas yang dapat dibiayai, yaitu 500 gram per transaksi, yang mencerminkan orientasi kepada nasabah kelas menengah ke atas.
Jelas bahwa tidak semua lembaga keuangan dapat menyelenggarakan kegiatan usaha bullion. Berdasarkan Pasal 21 POJK 17/2024, hanya LJK dengan kegiatan usaha utama berupa penyaluran kredit atau pembiayaan, seperti bank umum, perusahaan pembiayaan, dan pergadaian, yang memenuhi syarat.
Selain itu, LJK harus memiliki tingkat kesehatan minimum peringkat komposit 2 (dua) atau sehat. Persyaratan modal juga menjadi faktor kunci. Bank umum dan unit usaha syariah dari bank konvensional harus memiliki modal inti paling sedikit Rp14 triliun.
Adapun lembaga keuangan non-bank yang tidak melakukan kegiatan selain penitipan emas dikecualikan dari ketentuan ini, tetapi tetap diwajibkan memenuhi persyaratan ekuitas sesuai ketentuan sektoral.
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengusulkan agar Pegadaian melalui PT Bank rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dan PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk (BRIS) menjadi pengelola bank emas atau bullion bank. OJK juga menyatakan sedang dalam proses untuk mengkaji LJK yang berpotensi tersebut di tahap awal ekosistem ini (Pegadaian dan BSI) (Dikutip dari CNBC, 9 Desember 2024).
Emas memberikan alternatif diversifikasi aset bagi perbankan, mengurangi risiko sistemik akibat volatilitas pasar keuangan konvensional. Dengan emas sebagai aset dasar, perbankan dan IKNB diharapkan dapat memperkuat daya tahan terhadap gejolak ekonomi.
Dalam skema syariah, emas memenuhi prinsip keadilan (‘adl) keseimbangan (tawazun), dan kemaslahatan (maslahah). Produk pembiayaan berbasis emas, seperti gadai emas syariah, memungkinkan lembaga keuangan menjangkau segmen pasar yang lebih luas, khususnya masyarakat yang membutuhkan layanan berbasis syariah.
Kegiatan usaha bullion dapat menjadi instrumen peningkatan literasi keuangan masyarakat. Dengan memahami nilai intrinsik emas sebagai aset, masyarakat dapat lebih bijak dalam mengelola kekayaan mereka, sekaligus memperluas inklusi keuangan.
Baca juga: Tren Nabung Emas Meningkat, BSI Luncurkan Produk BSI Gold
Maksimalkan Potensi Emas: Peluang Bagi Bank dan IKNB di Indonesia
Indonesia, sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia, memiliki posisi strategis dalam industri emas global. Dengan cadangan emas mencapai 2.600 metrik ton atau 4,4 persen dari total cadangan emas dunia, Indonesia berada di peringkat keenam dalam daftar pemilik cadangan emas terbesar di dunia. Namun, meski kaya sumber daya, potensi penuh dari ekosistem emas Indonesia masih jauh dari optimal.
Sektor emas di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, termasuk dominasi aktivitas di hulu, rendahnya konsumsi domestik, serta inefisiensi dalam rantai pasok. Selain itu, stok emas idle yang mencapai 1.800 ton dan ketergantungan pada pasar internasional menunjukkan bahwa ada ruang besar untuk pengembangan di seluruh rantai nilai emas. Di sinilah peran transformasi produk dan layanan perbankan menjadi sangat relevan.
Dengan diberlakukannya POJK 17/2024, perbankan dan IKNB Indonesia mendapat peluang untuk memperluas portofolio mereka melalui produk berbasis emas, seperti simpanan emas, pembiayaan berbasis emas, dan instrumen investasi derivatif berbasis logam mulia.
Diversifikasi ini bukan hanya memperkuat daya saing bank, tetapi juga menciptakan aset lindung nilai yang relevan di tengah ketidakpastian ekonomi global. Bahkan, produk seperti gold-backed ETF atau obligasi emas menawarkan instrumen investasi baru yang menarik bagi investor institusional.
Namun, peluang besar ini datang dengan tuntutan yang tidak kalah besar. Untuk merealisasikan potensi ini, bank perlu melakukan inovasi dalam hal teknologi dan infrastruktur.
Platform digital untuk pengelolaan emas, pengawasan risiko yang ketat, dan kepatuhan terhadap standar internasional seperti London Bullion Market Association (LBMA) adalah prasyarat utama. Bank dan IKNB yang mendapat izin dari OJK untuk menyelenggarakan kegiatan usaha bullion juga harus mampu mengembangkan mekanisme layanan seperti allocated gold accounts dan unallocated gold accounts, yang tidak hanya memperkuat likuiditas pasar keuangan tetapi juga meningkatkan fleksibilitas transaksi bagi nasabah.
Sementara peluang di pasar regional dan internasional terbuka lebar, Indonesia harus bersiap menghadapi tantangan besar dari negara-negara yang memiliki ekosistem emas lebih matang, seperti Singapura, Hongkong dan Inggris.
Kompetisi ini menuntut perbankan dan IKNB Indonesia untuk membangun reputasi yang solid, meningkatkan kepercayaan internasional, serta menyediakan layanan yang inovatif dan berkualitas tinggi.
Transformasi ekosistem emas Indonesia bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga tentang membangun posisi strategis di pasar global. Dengan pengelolaan yang tepat, Indonesia tidak hanya dapat memaksimalkan potensi cadangan emasnya tetapi juga menjadi salah satu pusat emas utama dunia, mencerminkan kekuatan ekonominya di panggung internasional.
Hal tersebut sejalan dengan Astacita untuk mencapai pertumbuhan 8 persen yang ditempuh salah satunya melalui strategi hilirisasi komoditas. Saatnya bergerak maju dengan langkah besar, memastikan bahwa kekayaan emas Indonesia bukan sekadar potensi, tetapi menjadi aset nyata yang membawa manfaat bagi seluruh rakyat. (*)