Washington–World Bank (Bank Dunia) memangkas proyeksi pertumbuhan global menjadi 2,4% dari perkiraan sebelumnya pada bulan Januari, yakni 2,9%.
Langkah ini diambil akibat melambatnya pertumbuhan di negara-negara maju, harga komoditas yang tetap rendah, lemahnya perdagangan global, dan arus modal yang berkurang.
Menurut laporan terbaru Global Economic Prospects, negara berkembang dan negara berkembang pengekspor komoditas, berupaya keras beradaptasi terhadap jatuhnya harga minyak dan komoditas utama lain, dan ini menjadi penyebab separuh dari revisi pemangkasan. Pertumbuhan di negara-negara tersebut tahun ini diproyeksikan 0,4%, jauh lebih rendah dari proyeksi pada bulan Januari sebesar 1,2%.
“Pertumbuhan yang lambat in kembali menegaskan betapa pentingnya bagi negara untuk menerapkan kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan mereka yang hidup dalam kemiskinan ekstrim,” ujar Presiden Kelompok Bank Dunia Jim Yong Kim, dalam keterangannya di Washington.
Menurut Jim, pertumbuhan ekonomi adalah motor utama untuk mengurangi angka kemiskinan. Karena itu, pihaknya sangat prihatin ketika pertumbuhan di negara-negara pengekspor komoditas berkurang akibat tekanan terhadap harga komoditas.
Dia menilai, negara berkembang yang mengimpor komoditas lebih tahan daripada negara pengekspor, meski keuntungan dari turunnya harga energi dan komoditas lain belum terlalu terasa. Pertumbuhan mereka diproyeksikan sebesar 5,8% pada 2016, berkurang sedikit dari angka 5,9% pada 2015, seiring dengan rendahnya harga energi dan mulai pulihnya ekonomi negara-negara maju yang telah mendukung kegiatan ekonomi.
Di antara negara-negara berkembang yang besar, pertumbuhan Tiongkok diperkirakan berkisar antara 6,7% pada 2016 setelah tahun lalu berada di angka 6,9%. Ekspansi ekonomi India yang besar diperkirakan akan stabil di angka 7,6%. Brazil dan Rusia diproyeksikan berada pada resesi yang lebih dalam dibanding prakiraan bulan Januari. Afrika Selatan diperkirakan tumbuh sekitar 0,6% pada 2016, 0,8% lebih lambat dibanding proyeksi pada bulan Januari.
Menurut laporan Global Economic Prospects, peningkatan signifikan dalam sektor kredit swasta didorong oleh suku bunga rendah dan meningkatnya kebutuhan pembiayaan, yang belakangan ini semakin tinggi, ikut mempertajam potensi risiko bagi beberapa negara berkembang.
“Seiring dengan upaya negara-negara untuk mengatasi tantangan, negara-negara di Asia Timur dan Tenggara tumbuh solid, seperti halnya negara-negara berkembang pengimpor komoditas di seluruh dunia,” tambah Ekonom Utama dan Wakil Presiden Senior Bank Dunia, Kaushik Basu.
Namun, kata dia, satu perkembangan yang perlu diantisipasi adalah pesatnya tingkat hutang swasta di beberapa negara berkembang. Saat tren pinjaman melonjak, tidak mengherankan jika tingkat pinjaman macet, sebagai bagian naiknya pinjaman sebanyak empat kali lipat.
Dalam situasi pertumbuhan yang melambat ini, ekonomi global menghadapi risiko-risiko lebih besar, diantaranya pelambatan lebih lanjut pada negara-negara berkembang, perubahan besar pada sentimen pasar finansial, stagnasi pada negara-negara maju, periode rendahnya harga komoditas yang lebih lama dari perkiraan, risiko geopolitis berbagai negara, dan kekhawatiran terhadap efektivitas kebijakan moneter dalam mendorong pertumbuhan.
Laporan ini memperkenalkan cara untuk mengkaji risiko-risiko terhadap proyeksi global dan menemukan bahwa situasinya lebih condong ke penurunan dibanding proyeksi bulan Januari lalu.
“Prospek pertumbuhan yang lambat di negara-negara berkembang akan memperlambat, atau bahkan memutar balik kemajuan yang telah dicapai dalam mengejar tingkat pendapatan agar setara dengan negara-negara maju. Namun, selama tiga tahun terakhir, beberapa negara berkembang pengimpor komoditas mampu mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan,” ucap Direktur Group Economic Development Prospects, Ayhan Kose.
Pertumbuhan di Asia Timur dan Pasifik diproyeksikan tidak mengalami revisi dan melambat di angka 6,3% untuk tahun 2016, dengan ekspansi Tiongkok yang diperkirakan menurun ke angka 6,7%, sebagaimana proyeksi bulan Januari. Di luar Tiongkok, pertumbuhan kawasan ini diproyeksikan tumbuh sebesar 4,8% pada 2016, tidak berubah sejak 2015.
Prakiraan ini didukung asumsi pelambatan yang terukur di Tiongkok, yang diikuti oleh reformasi struktural dan stimulus kebijakan yang diperlukan. Pertumbuhan di kawasan ini diperkirakan ditopang oleh naiknya sejumlah investasi di beberapa negara besar (Indonesia, Malaysia, Thailand), dan konsumsi tinggi yang didukung oleh rendahnya harga komoditas (Thailand, Filipina, Vietnam). (*)
Editor: Paulus Yoga