Bank Bulion, Fundamental Ekonomi, dan Tak Silau Saat Emas Berkilau

Bank Bulion, Fundamental Ekonomi, dan Tak Silau Saat Emas Berkilau

Oleh Setiawan Budi Utomo, Direktur Otoritas Jasa Keuangan

PAGI baru menyingsing, bahkan langit belum sepenuhnya biru, tapi Cikini Gold Center sudah bergemuruh. Toko-toko emas sibuk melayani pertanyaan pembeli, dan deretan gelang, kalung, serta perhiasan lainnya menjadi rebutan. Namun, bukan untuk sekadar bergaya, melainkan untuk diamankan sebagai pegangan masa depan.

Harga emas memang tengah mencetak rekor. Sepanjang triwulan pertama 2025, harga emas dunia menembus USD3.300 per troy ounce pada akhir Mei. Di dalam negeri, emas batangan Antam telah melonjak ke Rp1.900.000 per gram pada 30 Mei 2025, mendekati batas psikologis Rp2 juta per gram. Di toko-toko fisik seperti Cikini, harga perhiasan bahkan sudah melampaui angka itu.

Maka tak heran, kita menyaksikan demam emas dadakan: menggoda tapi sekaligus mengkhawatirkan. Namun, pertanyaannya, apakah ini momentum emas, atau justru jebakan berlapis kilau?

Kilau yang Lahir dari Krisis

Kita perlu jujur dan mengakui bahwa emas memang naik, tapi bukan karena ekonomi sedang kuat melainkan justru lahir dari kecemasan. Perang yang terus berlangsung di Ukraina, konflik memanas di Timur Tengah, serta ketidakpastian arah suku bunga global menciptakan ketakutan yang tidak terbendung di pasar keuangan.

Perang dagang yang dipicu kebijakan tarif impor Amerika Serikat per 2 April 2025 meningkatkan tensi global dan memperparah ketidakpastian ekonomi. Investor pun menarik dana dari aset berisiko ke emas sebagai safe haven. Namun, lonjakan harga emas yang didorong kepanikan, bukan fundamental, bisa sewaktu-waktu berbalik tajam. Saatnya refleksi dan mencermati agar bijak sebelum memilih.

Baca juga: Danantara, BSI, dan Peluang Emas Ekonomi Syariah di Indonesia

Euforia dan Efek Domino FOMO

Kenaikan harga emas tak hanya menarik investor besar, tapi juga masyarakat umum yang belum memahami investasi. Di Indonesia, tren pencarian “harga emas hari ini” melonjak, didorong konten viral “cuan instan” di media sosial. Fenomena ini mencerminkan fear of missing out (FOMO), dalam hal ini orang membeli karena takut ketinggalan, bukan karena sadar seperti saat harga emas anjlok 30 persen pascapuncaknya di 2011 yang sempat menembus USD1.998,99 per ons.

Bank Indonesia mencatat inklusi keuangan masih didominasi tabungan dan emas, sementara instrumen produktif seperti saham dan reksa dana belum populer. Ini menunjukkan perlunya peningkatan literasi keuangan agar masyarakat tak mudah tergoda tren sesaat.

Bank Bulion dan Arah Baru Monetisasi Emas

Dalam sistem keuangan modern, emas tidak lagi sekadar menjadi logam mulia yang disimpan di bawah bantal atau ditimbun dalam bentuk perhiasan. Kini, emas mulai memasuki fase baru sebagai bagian dari arsitektur sistem keuangan formal melalui lembaga yang disebut bank bulion (bullion bank).

Kehadiran bank bulion memberikan legalitas dan infrastruktur bagi aktivitas keuangan berbasis emas yang sebelumnya bersifat informal. Hal ini diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 17 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Bulion.

Regulasi ini memungkinkan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) untuk menjalankan berbagai aktivitas berbasis emas secara resmi, mulai dari simpanan emas, pembiayaan emas, perdagangan emas, penitipan emas, hingga bentuk layanan lain yang berkaitan. Tujuan utamanya adalah untuk memonetisasi cadangan emas dalam negeri, mengurangi ketergantungan terhadap impor emas, serta memperkuat ekosistem keuangan domestik.

Investasi Bernilai dan Produkif

Emas memang bisa jadi pelindung nilai, tapi ia bukan alat pencipta nilai tambah. Sifatnya pasif, tak menciptakan lapangan kerja, tak memproduksi barang dan jasa. Di tengah semangat pemulihan ekonomi, alangkah disayangkan jika dana masyarakat hanya mengendap dalam bentuk logam mulia.

Justru saat ini, pemerintah sedang mendorong arah baru pembangunan melalui hilirisasi industri, penguatan ekonomi domestik, dan bahkan perluasan ekonomi syariah dan keuangan sosial. Instrumen seperti pembiayaan mikro syariah, wakaf produktif, dan zakat berbasis pemberdayaan kini mendapat perhatian. Lembaga keuangan syariah mulai memperkuat perannya sebagai pendorong UMKM dan petani-peternak kecil agar naik kelas.

Sektor riil seperti pertanian berkelanjutan, energi hijau, dan industri halal membutuhkan suntikan dana yang bukan spekulatif, melainkan produktif. Hal ini bukan sekadar kebijakan, tapi strategi agar Indonesia keluar dari jebakan ekonomi ekstraktif dan menjadi bangsa yang mandiri secara ekonomi.

Alih-alih hanya menyimpan emas, saatnya masyarakat diajak menjadi bagian dari pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Ekosistem bulion, yang mengatur emas secara legal dan produktif, menjadi penting agar emas bukan hanya menjadi tabungan mati, tapi juga bisa mendorong aliran pembiayaan dan penguatan ekonomi lokal.

Baca juga: Globalization is Changing, Not Ending

Jangan Silau, Saatnya Bijak

Kini saatnya kita bertanya ulang, apakah kita hanya ingin jadi penimbun emas, atau pelaku aktif dalam pembangunan ekonomi bangsa? Bank bulion dan kebijakan emas terbaru OJK memberi peluang besar. Namun, bukan untuk mengandalkan emas sebagai segalanya, melainkan menjadikannya sebagai bagian dari ekosistem produktif yang terintegrasi.

Indonesia punya sumber daya alam melimpah, bonus demografi, dan budaya gotong royong. Tapi, semua itu tidak akan berarti tanpa sikap bijak dan partisipasi aktif masyarakat dalam mendukung sektor produktif.

Desclaimer: Opini ini merupakan pandangan pribadi dan tidak mewakili institusi mana pun.

Related Posts

News Update

Netizen +62