Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
BEBAN hidup rakyat Indonesia makin berat. Di tengah badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda dunia dan Indonesia, tiba-tiba pemerintah mengumumkan akan memotong gaji karyawan sebesar 3 persen untuk iuran Tapera. Para pegawai seperti “dipalak” oleh pemerintah yang gagal memberantas korupsi sehingga kasus-kasus korupsi mencuat hingga merugikan negara hingga ratusan triliun, salah satunya kasus korupsi tambang timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun.
Para pegawai pun makin terjepit oleh tiga hal ini. Iuran Tapera ini akan menambah tiga beban yang sudah dipikul para pegawai. Satu, kenaikan harga-harga barang-barang sekunder maupun tersier karena naiknya USD. Dua, kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang akan naik menjadi 12 persen dan pajak-pajak lainnya. Tiga, kenaikan cicilan rumah dan mobil seiring di tengah era suku bunga tinggi.
Di sisi lain, serapan pekerja formal justru makin menurun sebagai indikasi kegagalan pemerintah dalam memenuhi janjinya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ekosistem birokrasi dan dunia usaha yang sangat korup membuat sektor manufaktur makin melemah. Begitu juga sektor pertanian yang kontribusinya terhadap perekonomian tinggal 11,53 persen karena pemerintah lebih memilih membuka keran impor pangan yang menyuburkan para pemburu rente.
Baca juga: Polemik Tapera di Tengah Tidak Ada Kepastian Imbal Jasa bagi Anggota
Karena lapangan kerja tak tercipta, jumlah orang yang bekerja di sektor informal pun bertambah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), serapan pekerja formal makin menurun dari 15,61 juta pada periode 2009-2014, menjadi 8,55 juta pada 2014-2019, dan tinggal 2,00 juta pada 2019-2024. Jadi dari 142,18 juta orang yang bekerja, 59 persen pekerja bekerja di sektor informal.
Yang lebih ngeri lagi, masalah pengangguran tak teratasi karena badai PHK yang terus melanda sejak 2020 hingga saat ini. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja, jumlah orang yang terkena PHK sepanjang 2023 mencapai 64.000, dan paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat sebanyak 19.217 orang, Banten sebanyak 11.140 orang, dan Jawa Tengah sebanyak 9.435 orang. Sementara pada empat bulan pertama 2024 tercatat ada 18.829 orang terkena PHK.
Mercer Mettl melalui surveinya bertajuk tren tenaga kerja dan fakta tentang layoff di Indonesia pada 2023, menyebutkan 23 persen organisasi atau perusahaan di Indonesia melakukan PHK karyawan dan 69 persen perusahaan menghentikan rekrutmen. Tiga industri teratas yang melakukan penghentian rekrutmen adalah perbankan, hospitalitas, dan farmasi. Industri manufaktur, perbankan, dan hospitalitas, memimpin gelombang PHK di Indonesia.
Industri perbankan Indonesia telah melakukan PHK secara senyap. Menurut data Biro Riset Infobank (BirI), jumlah pegawai bank yang pada 2019 sebanyak 450.095 orang menyusut menjadi 437.292 orang pada 2020, 437.413 orang pada 2021 dan 432.954 orang pada 2022, dan baru naik menjadi 441.145 orang pada 2023.
Baca juga: Berat! Di Zaman “Distrust”, Gaji Karyawan Kena “Palak” untuk Tapera, Apa Urgensinya?
Sebelum pandemi COVID-19, jumlah pegawai bank sesungguhnya sudah menyusut sejak 2015. Jumlah pegawai bank umum pada 2014 masih sebesar 489.454 orang, mulai menyusut setiap tahunnya sejak 2015 dan pada 2023 menjadi 441.145 orang. Artinya, selama sembilan tahun terjadi pemangkasan tenaga kerja di bank umum sebanyak 48.309 orang.
Bank-bank mana saja paling getol memangkas jumlah karyawannya? Apa saja yang menjadi penyebab menurunnya jumlah pegawai bank selama satu dekade terakhir? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 554 Juni 2024!