Bahaya Praktik “Jual-Beli Kendaraan STNK Only”: Ancaman bagi Multifinance, Bank, dan Asuransi

Bahaya Praktik “Jual-Beli Kendaraan STNK Only”: Ancaman bagi Multifinance, Bank, dan Asuransi

Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group

STNK only! Itu bunyi iklan di media sosial yang marak beberapa tahun terakhir. Hari-hari ini, kita menyaksikan maraknya fenomena jual-beli kendaraan bermotor – baik roda dua maupun empat – hanya dengan mengandalkan dokumen Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Atau, dalam bahasa sehari-hari hanya pakai surat “bodong”, yaitu jual-beli kendaraan tanpa disertai dokumen kepemilikan yang sah, dalam hal ini Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).

Praktik tersebut tidak hanya ilegal, tapi juga berefek buruk yang sangat luas, baik bagi masyarakat, industri pembiayaan, perbankan, asuransi maupun perekonomian nasional. Ironisnya, praktik ini dibiarkan oleh semua pihak. Padahal, bahaya nyata dan laten telah berlangsung dari transaksi STNK only ini.
Selama ini, dalam transaksi kendaraan yang sah, penyerahan BPKB adalah keharusan. BPKB adalah bukti kepemilikan kendaraan yang sah di mata hukum.

Sementara, STNK hanya menunjukkan bahwa kendaraan tersebut terdaftar dan dikenai pajak. Praktik “STNK only” sering kali mengindikasikan bahwa kendaraan masih dalam status dibiayai oleh perusahaan pembiayaan (multifinance) atau leasing, atau bahkan merupakan hasil tindak pidana.

Nah, dengan kata lain, pembeli hanya mendapatkan “hak pakai” semu, tanpa “hak milik” yang diakui hukum. Ini adalah bom waktu. Bahkan, bisa membahayakan baik penjual maupun pembeli, seperti kasus yang belakangan ini terjadi di Tangerang. Saat hendak bertransaksi dalam jual-beli mobil, pasangan suami istri bersama dua temannya diculik si penjual. Mereka disekap di sebuah rumah di Tangerang.
Itu salah satu kasus dari banyak kasus yang terjadi.

Menurut Infobank Institute, praktik jual-beli kendaraan STNK only berdampak buruk dan merugikan masyarakat. Paling tidak rugi materi dan akan berhadapan dengan hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi tersebut. Pasal 480 KUHP tentang penadahan dapat dikenakan kepada pembeli, sementara penjual dapat dijerat dengan Pasal 36 UU Jaminan Fidusia. Pendek kata, masyarakat menjadi korban dua kali: kehilangan uang dan berhadapan dengan hukum.

Lalu, apa dampak buruk bagi perusahaan pembiayaan, bank, dan asuransi? Setidaknya, Infobank Institute mencatat ada tiga hal penting. Satu, tingkat kredit bermasalah (non performing financing/NPF) meningkat. Ketika kendaraan yang masih dalam status kredit dijual secara ilegal, perusahaan pembiayaan kesulitan menagih atau menarik asetnya. Hal ini menyebabkan peningkatan NPF, yang pada gilirannya berdampak pada kesehatan sektor keuangan.

Dua, akan terjadi kenaikan risiko. Akibatnya terjadi kenaikan biaya dan suku bunga.
Untuk mengantisipasi risiko kredit macet, perusahaan leasing terpaksa menaikkan uang muka, suku bunga, dan provisi. Ini pada akhirnya membebani konsumen yang sehat dan mengurangi daya beli masyarakat.

Tiga, perbankan dan perusahaan asuransi akan terkena dampak kredit bermasalah akibat perusahaan pembiayaan yang diberi pinjaman yang tidak bisa membayar pinjaman karena jaminan telah hilang. Dampak ikutannya, perusahaan asuransi juga akan kehilangan premi.

Tidak berhenti di situ. Praktik jual-beli STNK only ini juga akan berdampak pada penurunan penjualan kendaraan. Dengan makin ketatnya persetujuan kredit dari leasing, penjualan kendaraan, khususnya roda empat, mengalami penurunan signifikan. Industri otomotif yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja terancam lesu.

Bahkan, akan terjadi gangguan pada ekosistem kendaraan bekas. Transaksi ilegal ini merusak tata niaga kendaraan bekas yang sehat dan transparan. Reputasi industri otomotif Indonesia dipertaruhkan.
Lalu, bagaimana mengatasinya? Praktik “STNK only” bukanlah solusi, melainkan masalah sistemis yang harus diatasi secara kolektif.

Satu, perlu melakukan edukasi. Dan, targetnya adalah masyarakat. Masyarakat harus diedukasi bahwa membeli kendaraan tanpa BPKB adalah tindakan berisiko tinggi. Transaksi kendaraan harus dilakukan melalui jalur resmi, dengan dokumen lengkap.

Dua, kembali pada penegakan hukum yang tegas. Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital serta kepolisian, harus bertindak tegas menutup akun-akun media sosial yang mengiklankan praktik ilegal ini. UU ITE dan peraturan turunannya harus ditegakkan.

Tiga, lakukan kolaborasi antarlembaga. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), asosiasi leasing (APPI), asosiasi otomotif (Gaikindo, AISI), dan penyedia platform media sosial harus bahu-membahu, bekerja sama memutus mata rantai praktik yang merugikan ini.

Fenomena “jual-beli kendaraan STNK only” adalah cermin dari kegagapan kita dalam menghadapi era digital. Di satu sisi, teknologi memudahkan transaksi. Di lain sisi, ia juga membuka celah bagi kejahatan terstruktur.

Kita tidak boleh diam. Masyarakat, industri, dan pemerintah harus bergerak bersama. Hanya dengan kolaborasi yang dapat melindungi masyarakat, menyelamatkan industri, dan menjaga martabat hukum.
Praktik jual-beli kendaraan STNK only harus dihentikan!

Related Posts

News Update

Netizen +62