Oleh Tim Biro Riset Infobank
TIDAK sedikit jalan menuju kematian. Tapi, mati bunuh diri diteror pinjaman online (pinjol) tentu tidak bisa dibiarkan. Lebih baik mati ketimbang stres terus-menerus diteror pinjol. Boleh jadi demikian pikiran seorang debitur salah satu pinjol (disebut-sebut AdaKami) berinisial K. Sungguh kematiannya memberi isyarat penting, bahwa pinjol, baik ilegal maupun legal, wajib ditertibkan. Sulit dikendalikan.
Banyak kasus pilu korban pinjol. Tidak sedikit para guru dan wanita yang tampak senyap. Tahun 2022 lalu, ratusan mahasiswa IPB juga tertipu pinjol. Yang membuat miris, mahasiswa UI membunuh adik kelasnya akibat terlilit pinjol. Bulan lalu, 58 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta juga terjerat pinjol. Sebelumnya, UIN Surakarta tertipu pinjol yang menjadi sponsor acara orientasi mahasiswa baru.
Di lain sisi – anak-anak muda yang lebih doyan pinjam uang untuk membiayai hidupnya tidak suka menabung. Menurut salah satu direktur bank swasta besar kepada Infobank, pinjol atau rentenir berbunga tinggi memang akan berdampak sosial negatif, di mana pun sejarahnya sama.
Baca juga: Waduh, Pinjol AdaKami Mau Tutup Kasus Nasabah Bunuh Diri, Kok Bisa?
Menurutnya, banyak anak muda sekarang memiliki lifestyle konsumtif, mengurangi tabungan, padahal untuk modal masa depan. Tentu hal itu perlu diantisipasi dengan lebih baik. Tidak hanya oleh otoritas, tapi seluruh komponen. ”Secara perputaran uang sepertinya ekonomi berjalan, akan tetapi efek negatif sosialnya besar,” katanya.
Mengapa anak-anak muda banyak terjerat utang “jahat” ini? Menurut Aman Santosa, Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), itu karena di satu pihak, pinjol ada kemudahan dalam menawarkan pinjaman. Sementara, di pihak debitur, anak-anak muda ini, ada masalah kesulitan keuangan, penghasilan tidak cukup, ditambah tingkat literasi rendah.
Bisa jadi, menurut Aman Santosa, debitur sengaja tidak membayar. Atau, bisa jadi, ”Nasabah melakukan gali lubang, tutup lubang utang,” katanya dalam acara Literasi Roadshow yang diselenggarakan Infobank Digital bekerja sama dengan FEB Universitas Indonesia, di Depok, beberapa waktu lalu.
Itulah pentingnya literasi keuangan bagi milenial. Ada dua hal yang kini saling bertubrukkan: satu sisi menghabiskan uang untuk kesenangan dan sisi yang lain menabung atau investasi untuk menambah aset. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, tampaknya tak berlaku di zaman sekarang ini.
Apalagi generasi milenial dan gen Z banyak yang punya prinsip. Hidup hanya sekali, sehingga hidup harus dinikmati. Atau, dalam istilah sehari-hari You Only Live Once (YOLO). Menurut Aman Santosa, ini lebih rentan secara finansial. Apalagi sekitar 28% masyarakat Indonesia memiliki pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatan. Lebih rumit lagi, mereka menabung rata-rata 8% dari pendapatannya.
Lebih dalam lagi, data Indonesia Millennial Report (2019) menyebutkan, ada sekitar 51,1% pendapatan milenial ini habis untuk kebutuhan bulanan. Dan, mengejutkan, empat dari 10 milenial melakukan perjalanan ke luar negeri atau dalam negeri. Hari-hari ini untuk membiayai lifestyle seperti nongkrong di kafe dan bersantai nonton konser.
Ada istilah Fear Of Missing Out (FOMO) – sebanyak 40% pengguna media sosial (medsos) takut ketinggalan informasi. Jadi, pendek kata, mudah teperdaya ajakan influencer – mudah terpikat. Apalagi, ada 79% milenial membuka smartphone 1 menit setelah bangun tidur. Akibatnya, bombardir iklan pinjol dengan menawarkan kemudahan sungguh sangat efektif membutakan mata para anak muda ini.
Jangan kaget. Menurut data statistik financial technology (fintech), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Juni 2023, peminjam usia muda 19 tahun sampai dengan 34 tahun punya porsi pinjaman sebesar Rp26,9 triliun. Ini 57% dari seluruh pinjaman yang diguyur fintech dari total Rp47 triliun. Jumlah rekeningnya hampir mencapai 11 juta rekening. Lebih mengejutkan lagi anak-anak seusia anak sekolah menengah atas (SMA) atawa gen Z (usia 8-23 tahun) – di bawah 19 tahun mempunyai saldo pinjaman mencapai Rp169 miliar.
Angka itu tidak termasuk portofolio dari pinjol ilegal – yang tentu akan menambah portofolio pinjaman individu. Seperti biasa, pinjaman tidak selalu lancar. Pinjaman macet gen Z dan milenial pun bikin cemas. Secara persentase, kredit bermasalahnya sudah tujuh persen. Lihat saja angka kredit bermasalahnya menembus Rp1,9 triliun, dan yang macet mencapai Rp764 miliar.
Baca juga: OJK Desak Pinjol AdaKami Investigasi Kasus Nasabah Bunuh Diri
Secara kasar ada sekitar 770.000 anak muda, yang terdiri atas gen Z dan milenial, yang terancam masa depannya. Jika ini terus berlanjut, maka mereka, anak-anak muda ini, akan mati secara perdata. Artinya, mereka tidak akan bisa mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, karena masuk dalam blacklist (SLIK) – dulu BI Checking.
Mereka di 2045, meski kelak mempunyai uang, tak akan bisa melakukan pinjaman untuk beli rumah, atau untuk beli kendaraan. Pokoknya segala bentuk fasilitas pinjaman. Bahkan, ada kabar, anak-anak muda yang masuk dalam SLIK tak akan bisa mendapatkan pekerjaan formal. Apalagi bekerja di lembaga keuangan, seperti bank. Madesu, masa depan suram bagi mereka yang masuk SLIK, karena secara perdata sudah mati.
Bagaimana menyelamatkan generasi muda yang terjebak pinjol? Bagaimana pula bank menggaet anak muda? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 546 Oktober 2023. (*)