Jakarta – Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) kerap kali serangan siber terus bermunculan seperti kasus kebocoran data dukcapil baru-baru ini. Ketua Indonesia Cyber Security Forum, Ardi Sutedja menyebutkan pihaknya tengah memantau tren serangan siber di beragam platform media sosial yang bisa mempengaruhi pilihan mereka terhadap pandangan politik.
“Pemilu 2024 itu bukan hanya perubahan politik. Tapi, ada alih generasi. Ada transisi generasi ini yang tiada kesinambungan dengan generasi sebelumnya. Sasaran serangannya adalah generasi milenial dan generasi Z. Targetnya antara lain memengaruhi pilihan mereka jelang Pemilu 2024,” ujar Ardi saat dihubungi Infobanknews, dikutip 18 Juli 2023.
Ardi mengungkapkan, bahwa setelah adanya insiden nasional siber dua-tiga bulan yang lalu, kini muncul pandemi kebocoran data dimana-mana tiada henti. Termasuk yang terbaru pembobolan data dukcapil yang ditawarkan di darkweb.
Baca juga: 377 Data Dukcapil Bocor, Kemendagri Alasan Begini
“Volume kebocoran data yang mengandung unsur-unsur data pribadi sangat masif dan sudah bocor dan ‘netes’ sejak puluhan tahun,” katanya.
Apalagi sekarang diperparah dengan adanya tehnologi AI (Artifical Intelegent) yang mampu mempercepat rekonsiliasi berbagai elemen data-data curian yang sudah bocor sebelumnya.
“Ditambah dengan teknologi deepfakes akan mengubah tatanan global bagaimana kita mempresentasikan diri kita masing-masing,” pungkas Ardi.
Lebih lanjut, tambahnya, masih banyak pihak yang tidak paham tentang kebocoran data dan data yang bocor dijadikan apa. “Kebocoran data adalah awal dari tindakan-tindakan kejahatan lainnya, termasuk legiatan mata-mata,” ungkapnya.
Ardi pun menduga akan ada tiga jenis serangan siber yang muncul saat Pemilu 2024. Pertama, serangan siber yang menyasar perangkat keras. Kedua, serangan terhadap perangkat lunak dan aplikasi. Ketiga, serangan kognitif.
“Serangan kognitif ini menyerang pola pikir. Pola pikir itu dia dari konten-konten gratis. Sifatnya untuk mempengaruhi opini. Tetapi, memang tidak ada negara mana pun yang imun dari serangan siber ini. Misalnya saja seperti penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di ruang digital,” terangnya.
Baca juga: Awas! Data Pribadi Bocor jadi Ancaman Serius bagi Negara
Serangan siber yang terjadi pun, menurutnya tak terlepas dari lemahnya sistem pertahanan siber yang dimiliki Indonesia karena pemerintah belum sepenuhnya siap mengantisipasi serangan siber kendati sudah memiliki Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Selanjutnya, serangan siber bersifat sosial, tidak bisa dianggap enteng. Ardi memberi contoh, misalnya pada momen Pilkada DKI Jakarta 2017. Ketika itu, hoaks, misinformasi, dan propaganda hitam marak di media sosial. Panasnya suhu politik di media sosial termasuk pemicu demo berjilid-jilid sepanjang Pilgub DKI.
“Saat ini, kondisinya kita tidak akan mungkin sepenuhnya bisa mencegah serangan siber. Tapi yang bisa dilakukan adalah bagiamana mengantisipasi dampak terburuknya dari serangan siber,” tutupnya. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra