Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi
BADAI pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda dunia belum usai, termasuk Indonesia. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja, jumlah orang yang terkena PHK sepanjang 2023 mencapai 64.000. Sedangkan di perbankan, menurut data Biro Riset Infobank (BirI), jumlah pegawai bank terus menyusut dari 450.095 orang pada 2019 menjadi 441.145 orang pada 2023.
Sebelum pandemi COVID-19, jumlah pegawai bank sesungguhnya sudah berkurang sejak 2015. Jumlah pegawai bank umum pada 2014 masih sebesar 489.454 orang, mulai menyusut setiap tahunnya sejak 2015. Selama sembilan tahun 2014-2023 terjadi pemangkasan tenaga kerja di bank umum sebanyak 48.309 orang.
Bank yang paling getol memangkas jumlah karyawannya pada periode tersebut adalah Bank Danamon yang berkurang 34.623 orang. Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang merupakan bank dengan jumlah karyawan terbesar, tenaga kerjanya berkurang 13.625 orang.
Pengurangan karyawan juga terjadi di bank-bank besar lain seperti Bank BTPN sebanyak 7.878 orang, Bank CIMB Niaga sebanyak 3.887 orang, Bank Maybank Indonesia sebanyak 1.702, dan PermataBank sebanyak 1.305 orang.
Baca juga: Balada Pegawai Akan “Dipalak” Iuran Tapera di Tengah Badai PHK
Menurut Biro Riset Infobank, penurunan jumlah tenaga kerja di bank sejak 2014 hingga 2023 dipengaruhi oleh lima penyebab;
Satu, berakhirnya ekspansi kredit mikro bank-bank umum yang terjadi sejak 2008 hingga terjadi kelebihan kapasitas ketika permintaan kreditnya tertekan oleh ketatnya likuiditas dan ancaman kredit macet pada 2014. Untuk menghindari jebakan maut overhead cost dan kredit macet, bank-bank penantang pasar di segmen mass market ini diantaranya Bank Danamon, Bank BTPN, dan Bank Mega Syariah, kembali ke target bisnisnya yang menjadi keahliannya dan memangkas jaringan kantor mikronya yang diikuti dengan pemutusan ribuan karyawan.
Dua, program pensiun karyawan yang terjadi secara organik maupun rightsizing oleh bank-bank yang melakukan program penyehatan keuangan. Perlu diketahui, beberapa bank besar sempat terbakar kredit macet seperti Bank CIMB Niaga pada 2015 dan PermataBank pada 2016 sehingga harus melakukan restrukturisasi manajemen, keuangan, dan organisasi yang diikuti dengan perampingan pegawai.
Tiga, bank-bank berlomba mengembangkan laku pandai (branchless banking) sebagai cara lain menjangkau nasabah selain kantor cabang yang membuatkan biaya investasi dan operasional yang mahal. Keberadaan agen laku pandai berhasil menggantikan outlet-outlet bank di daerah remote.
Empat, munculnya pesaing baru yaitu financial technology (fintech) yang “menitili” pasar keuangan ritel membuat bank-bank papan atas segera meresponnya dengan menguatkan layanan digital banking-nya agar para nasabahnya bisa mengakses bank tanpa harus datang ke kantor cabang. Pandemi COVID-19 mengakselerasi digitalisasi di perbankan makin masif.
Masifnya layanan perbankan digital membuat kantor cabang menjadi sepi dan mendorong bank-bank mengurangi jumlah kantor yang diiringi dengan pengurangan pegawai. Jumlah jaringan kantor bank umum yang pada 2014 masih sebanyak 32.739 unit terus berkuran setiap tahunnya hingga menjadi 24.726 kantor pada 2023.
Baca juga: Mau Kabinet 34 Menteri, atau 40 Menteri, Jangan Lagi “Beternak” Orang Miskin agar Gen Z Tak “Mati Perdata”
Lima, berkurangnya jumlah bank umum seiring dengan konsolidasi. Pada 2013 jumlah bank masih 120 kemudian setiap tahunnya jumlahnya terus berkurang hingga menjadi 105 bank per akhir 2023. Merger dan akuisisi yang terjadi di perbankan selama lebih dari satu dekade terakhir selalu diiringi dengan pengurangan tenaga kerja.
Berapa biaya tenaga kerja di 105 bank umum di tengah tren penurunan jumlah karyawan? Bank-bank mana saja paling getol memangkas jumlah karyawannya? Bank seperti apa yang karyawannya paling produktif? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 554 Juni 2024!