Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
DUNIA berada dalam siaga satu kejahatan keuangan. Pasca pandemi COVID-19, banyak negara di dunia menghadapi inflasi global, naiknya suku bunga, krisis pangan dan energi, hingga kebangkrutan korporasi yang meningkatkan pengangguran baru. Krisis biaya hidup pun terjadi dan meningkatkan risiko kejahatan keuangan, seperti penipuan, pencucian uang, dan cyber crime. Di tengah masa sulit dan semua orang ingin bertahan hidup, ada pihak yang berusaha mengambil keuntungan dengan “memangsa” orang-orang lain.
Di negara Eropa seperti Inggris yang mengalami inflasi hingga 10%, penipuan identitas bertambah 51.499 kasus atau meningkat 23% sepanjang 2022 sebagaimana dicatat oleh Fraudscape. Sementara, PwC Global Economic Crime and Fraud Survey 2022, menyebutkan 51% organisasi di dunia mengalami penipuan dalam dua tahun terakhir, atau level tertinggi dalam 20 tahun penelitian PwC. Pelaku eksternal mendominasi sebagai pembuat fraud yaitu 43%, naik dari sebelumnya 41%. Pelaku internal menurun dari 38% menjadi 31%. Sedangkan fraud yang terjadi karena kerjasama internal dan pelaku eksternal naik dari 21% menjadi 26%.
Di Indonesia, Riset Nasional Penipuan Digital di Indonesia 2022, menyebutkan lima jenis penipuan yang paling banyak. Satu, penipuan berkedok hadiah (91,2%). Dua, pinjaman digital ilegal (74,8%). Tiga, pengiriman tautan yang berisi malware/ virus (65,2%). Empat, penipuan berkedok krisis keluarga (59,8%). Lima, investasi ilegal (56%).
Selain terjerak kasus penipuan online, masyarakat juga banyak yang menjadi korban pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) resmi seperti perusahaan asuransi jiwa yang berkompetisi secara tidak sehat dengan menjual produk berisiko tinggi seperti saving plan dengan return jauh di atas bunga deposito sekaligus tambahan proteksi asuransi, seperti Jiwasraya, Wanaartha Life, Kresna Life. Bahkan, koperasi yang dipuja-puja sebagai soko guru perekonomian rakyat pun melakukan penipuan seperti KSP Indosurya yang membuat 23.000 anggotanya mengalami kerugian hingga Rp106 triliun.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menemukan ratusan bahkan ribuan investasi dan pinjol ilegal setiap tahunnya. Ada fintech ilegal sebanyak 366 buah pada 2018, 1.465 buah pada 2019, 973 buah pada 2020, 768 buah pada 2021, dan 508 buah pada 2022, dan 130 buah per Maret 2023.
Sementara investasi ilegal yang ditemukan sebanyak 106 buah pada 2018, 440 pada 2019, 343 buah pada 2021, 194 buah pada 2022, dan 9 buah per Maret 2023. Jenis investasi ilegal ini banyak ragamnya, mulai dari moneygame, aset kripto, pemasaran berjenjang, dan forex future, di luar penggadaan uang.
Sedihnya, skandal investasi legal maupun ilegal yang sering terjadi selama lebih dari dua dekade ini seperti tak membuat masyarakat sadar dan lebih cermat dalam berinvestasi. Menurut Infobank Institute, penyebab kejahatan keuangan yang terjadi baik oleh korporasi maupun organisasi ilegal dan mudah menjerat korbannya disebabkan oleh beberapa hal.
Satu, ketatnya kompetisi yang membuat perusahaan seperti di sektor asuransi dan multifinance berani melakukan cara berkompetisi yang tidak sehat. Contohnya perusahaan asuransi jiwa yang menawarkan saving plan berbunga tetap yang tinggi atau multifinance yang membidik konsumen berkualitas rendah dengan kriteria pembiayaan yang sangat longgar.
Dua, lemahnya tata kelola dan budaya risiko. Terkuaknya kasus multiple pledging di multifinance atau penempatan investasi oleh perusahaan asuransi ke afiliasi adalah contoh lemahnya good corporate governance (GCG) dan risk management yang akhirnya menyebabkan gagal bayar kepada nasabah atau kreditur.
Tiga, tingginya biaya hidup pasca pandemi COVID-19 karena inflasi. Krisis biaya hidup akan meningkatkan risiko kejahatan keuangan karena semua orang ingin bertahan hidup ada yang berusaha mengambil keuntungan dengan merugikan pihak lain, makanya banyak debitur yang mengemplang kredit bank atau pemegang polis yang sampai pura-pura mati untuk mendapatkan klaim asuransi.
Empat, hadirnya era digital telah mengundang para pelaku penipuan untuk mudah menyasar korbannya melalui pesan instan, media social, email, situs web, hingga marketplace.
Lima, literasi keuangan masyarakat yang rendah ditambah pola pikir yang lebih mengedepankan investasi dibandingkan kehati-hatian untuk mengantisipasi risiko. Karena literasi masyarakat masih rendah maka perlu intervensi dari regulator agar masyarakat tidak hanya menjadi obyek pasar.
Enam, adanya budaya instan, boros, konsumtif, dan percaya takhayul, makanya wajar jika banyak masyarakat Indonesia banyak yang terjerembab dalam investasi bodong, bahkan mempercayai adanya penggandaan uang. Kemudahan menarik utang pun dimanfaatkan oleh pinjol illegal sehingga ada orang yang memiliki utang di banyak pinjol, termasuk digunakan untuk kebutuhan konsumtif seperti nonton konser musik.
Seperti apa daftar bandit-bandit di sektor keuangan, bagaimana modus operandinya, dan berapa besar nilai kerugian yang diderita para korbannya? Mampukah OJK yang baru mendapatkan kewenangan untuk melakukan penyidikan dan gugat perdata melalui UU P2SK dalam mencegah dan memberantas bandit-bandit di sektor keuangan? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 542 Juni 2023?