Awas, Rayuan Maut Investasi dan Fintech Abal-Abal

Awas, Rayuan Maut Investasi dan Fintech Abal-Abal

Masyarakat harus berhati-hati dalam mencari pendanaan, terutama melalui pinjaman online. Begitu juga dalam memilih tempat-tempat berinvestasi untuk mengembangkan dananya. Sudah banyak orang yang tergiur untung selangit malah buntung. Nilai kerugian akibat investasi ilegal dengan memakai skema piramida di Indonesia telah mencapai Rp114,9 triliun selama 20 tahun terakhir.

Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank

BANYAK orang melewati pandemi COVID-19 dengan cukup susah payah. Pengusaha berusaha keras menjaga cash flow dengan mengetatkan pengeluaran, termasuk mengurangi karyawan, kendati sebagian tidak bisa bertahan. Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tak kalah susah karena sebagian besar terpukul sejak awal pandemi hingga gulung tikar. Menurut M. Ikhsan Ingratubun, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia, pandemi telah membuat mayoritas UMKM bangkrut, di mana jumlah UMKM yang pada 2019 sebanyak 64,7 juta berkurang menjadi 34 juta pada 2020. Sektor pariwisata paling terdampak pandemi, diikuti kuliner dan fesyen.

Akibatnya, jumlah pengangguran dan kemiskinan pun bertambah. Di sektor UMKM saja ada 7 juta tenaga kerja yang kehilangan mata pencaharian. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka pengangguran terbuka naik dari 6,92 juta per Februari 2020 menjadi 9,67 juta per Agustus 2020. Sedangkan jumlah penduduk miskin mencapai 27,55 juta per September 2020, atau bertambah 2,76 juta dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Maka, rasio kemiskinan di Indonesia kembali menembus dua digit atau mencapai 10,19% dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270 juta jiwa. Itu dengan indikator garis kemiskinan versi pemerintah dengan pengeluaran Rp458.947 per kapita per bulan. Jika menggunakan versi Bank Dunia yang mengategorikan angka kemiskinan adalah orang dengan pengeluaran kurang dari US$2 per hari, maka angka orang miskin di Indonesia bisa lebih besar daripada angka resmi yang diumumkan pemerintah.

Mayoritas penduduk Indonesia sendiri sebetulnya berada dalam kelompok kelas menengah dengan jumlah lebih dari 150 juta orang dan selama ini menjadi pendorong pertumbuhan konsumsi. Namun, karena sebagian besar pendapatannya habis untuk konsumsi dan membayar pinjaman atau uang sewa, mereka rentan turun kelas, bahkan jatuh ke kategori miskin. Biasanya hal itu terjadi ketika krisis ekonomi datang, termasuk krisis akibat dampak pandemi COVID-19 yang melanda Tanah Air sejak Maret 2020. Banyak kelas menengah yang tidak memiliki simpanan untuk membiayai kebutuhan hidup setelah mereka kehilangan pendapatan akibat usahanya tutup atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Dampaknya, mereka mengurangi konsumsi dan tak mampu melaksanakan kewajibannya, seperti membayar utang. Jadi, tidak heran apabila konsumsi rumah tangga sepanjang 2020 merosot sangat dalam hingga 4,29% dan karena porsinya terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 57% maka membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi hingga 2,07%.

Begitu juga dengan hilangnya kemampuan membayar angsuran utang yang membuat kualitas kredit di perbankan dan lembaga pembiayaan menurun sehingga harus direstrukturisasi dengan relaksasi aturan yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK mencatat, jumlah kredit yang mendapat restrukturisasi di perbankan sebesar Rp987,5 triliun, yang diberikan kepada 7,9 juta debitur, di mana sektor UMKM mendominasi sebanyak 6,2 juta debitur dengan baki debit sebanyak Rp388,3 triliun.  

Pemerintah telah mengeluarkan stimulus fiskal seperti subsidi penjaminan kredit modal kerja untuk membantu pelaku UMKM terus bertahan serta memberikan jaring pengaman sosial lebih luas kepada masyarakat yang banyak kehilangan pekerjaan akibat COVID-19. Namun, apakah ini menjangkau seluruh masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19? Dari rekening kredit perbankan sebanyak 48,92 juta, hanya 7,9 juta yang mendapatkan fasilitas restrukturisasi kredit. Begitu juga masyarakat yang luput dari pendataan untuk mendapatkan bantuan sosial.

Dalam kondisi yang sangat sulit, banyak masyarakat yang berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri, seperti menjual aset yang dimilikinya atau membiarkan kolateral disita oleh kreditur. Tragis bagi masyarakat yang kehilangan pendapatan namun tidak memiliki aset untuk dijual. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penyedia pinjaman tanpa agunan yang sekarang menjamur secara online. Masyarakat yang tidak familier dengan bank dan membutuhkan uang cepat merasa mendapatkan solusi karena hanya dengan hitungan jam bahkan menit, mereka bisa mendapatkan pendanaan.

Pinjaman online (pinjol) yang sudah merebak sebelum pandemi COVID-19 datang menawarkan solusi pinjaman cepat ketika produr pengajuan pinjaman ke perbankan cukup ketat. Bahkan, penyedia pinjol atau financial technology (fintech) yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) terus mencatat pertumbuhan ketika industri perbankan dan multifinance mengalami kontraksi pada 2020. Tahun lalu, industri fintech mencatat pertumbuhan 27%.

Namun, mengambil pinjol harus dilakukan secara bijak. Jangan sampai itu dilakukan untuk memenuhi hasrat konsumsi maupun sebagai upaya gali lubang baru untuk menutup lubang lama (melunasi utang), sehingga tak membuat utang selesai, justru membuat seseorang makin terbelit utang. Apalagi, banyak penyedian pinjol tak berizin yang menawarkan suku bunga yang mencekik dengan cara menagih yang tidak etis.

Satgas Waspada Investasi (SWI) meminta masyarakat berhati-hati terhadap banyaknya penawaran pinjaman dari penyedia pinjol atau fintech terutama yang tidak berizin serta penawaran investasi ilegal yang marak memanfaatkan kondisi ekonomi yang sedang melemah akibat COVID-19. Sejak 2018 hingga Februari 2021, fintech lending ilegal yang telah ditutup sebanyak 3.107. Pada Februari 2021 telah ditemukan 51 kegiatan fintech lending ilegal yang berpotensi meresahkan masyarakat karena sering melakukan ancaman serta intimidasi jika peminjam menunggak pinjaman.  

Hati-Hati Investasi Bodong

Dalam kondisi sulit akibat pandemi COVID-19, ada dua kelompok masyarakat. Satu, mereka yang kesulitan mengarungi pandemi COVID-19 karena mengalami masalah cash flow. Tidak memiliki tabungan sehingga kesulitan melaksanakan kewajibannya. Mereka pelaku usaha yang bangkrut atau karyawan yang terkena PHK. Mereka kemudian menjadi target rentenir atau penyedia pinjaman online (pinjol) ilegal.

Dua, mereka yang bisa mengarungi pandemi COVID-19 dengan baik. Mereka adalah kelas menengah atas yang memiliki tabungan memadai untuk menopang kebutuhan hidup di tengah pandemi. Umumnya konservatif dan mengurangi konsumsi. Sebagian dari mereka bingung karena simpanannya di bank sulit berkembang gara-gara suku bunga deposito yang tak menarik lagi. Mereka kemudian menjadi target penyedia investasi ilegal atau penipuan.

Tragisnya, masyarakat yang sedang kesulitan membayar utang pun menjadi sasaran. Sebab, ada yang menawarkan jasa pelunasan utang melalui penarikan dana gaib di mana masyarakat yang berminat diwajibkan membayar mahar. Misalnya, mahar Rp1 juta untuk penarikan dana gaib Rp100 juta hingga Rp400 juta, atau mahar Rp7 juta untuk penarikan dana gaib hingga Rp10 miliar. 

Sampai dengan saat ini, kasus investasi ilegal terus merebak. Awal tahun ini, Satgas Waspada Investasi (SWI) dalam patroli sibernya menemukan 28 entitas kegiatan usaha yang diduga tanpa izin dari otoritas yang berwenang dan berpotensi merugikan masyarakat. Mereka melakukan kegiatan money game, crypto asset, forex dan robot forex tanpa izin, direct selling, equity crowdfunding, penyelenggara konten video, dan sistem pembayaran.

SWI mencatat, nilai kerugian akibat investasi ilegal dengan memakai skema piramida di Indonesia telah mencapai Rp114,9 triliun selama 20 tahun terakhir. Menurut Ketua SWI, Tongam L. Tobing, ada empat hal yang menyebabkan investasi bodong tumbuh subur dan terus memakan korban. Pertama, tingkat literasi rendah sehingga masyarakat tidak bisa mengetahui secara baik mana investasi yang abal-abal dan mana yang benar. Kedua, masyarakat mau untung besar tanpa mau repot berusaha. Ketiga, mengatasi kesulitan ekonomi dengan meminjam uang untuk menjajal investasi yang sebenarnya ilegal. Keempat, tergiur testimoni menggiurkan dari anggota yang sudah bergabung lebih dulu dan berusaha merekrut anggota baru.

“Jadi, mudah terpengaruh terhadap testimoni yang justru itu semu sebenarnya. Orang-orang yang testimoni itu adalah yang menginginkan orang lain untuk terjebak juga sebenarnya kalau bisa kita katakan,” ujarnya dalam sebuah diskusi virtual, Februari lalu.

Upaya pemberantasan investasi-investasi ilegal yang mengelabuhi masyarakat pun sudah dilakukan. Seperti oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang secara hukum tidak bisa melakukan tindakan hukum seperti mencabut izin perusahaan karena bukan lembaga keuangan yang diawasi sesuai dengan undang-undang (UU), juga bisa menggunakan kewenangan SWI yang di dalamnya ada penyidik dari Bareskrim Polri. Namun, upaya preventif juga harus dilakukan OJK sebagai pengawas sektor jasa keuangan. OJK harus terus giat melakukan sosialisasi dan edukasi, memberi pengetahuan kepada masyarakat mengenai pengelolaan keuangan yang benar dan bisa membedakan mana investasi yang riil dan mana yang hanya pepesan kosong.

Menurut Tirta Segara, Anggota Dewan Komisioner OJK, ada dua pendekatan perlindungan konsumen yang diberikan OJK. Pertama, bersifat preventif melalui edukasi atau literasi keuangan. Kedua, bersifat kuratif. “Kita memberikan fasilitas untuk penyelesaian sengketa, pengaduan konsumen. Kedua pendekatan ini diperkuat lagi dengan pengawasan, tapi pengawasannya bukan pengawasan prudential tapi pengawasan market conduct. Bedanya apa? Itu yang jadi objek pengawasan hubungan perilaku antara pelaku usaha jasa keuangan dengan konsumennya. Itu yang kita awasi,” ujarnya kepada Infobank, beberapa waktu lalu.

Terkuaknya kasus-kasus investasi bodong yang melumatkan ratusan triliun dana milik masyarakat adalah pelajaran yang tidak murah. Kendati negara berusaha hadir melalui regulator dan penegak hukum untuk mencegah berulangnya kasus investasi ilegal, masyarakat juga harus makin sadar dan berhati-hati dengan segala iming-iming yang tidak masuk akal. Jangan sampai kehilangan akal sehat akibat godaan budaya konsumerisme yang mendorong orang berpikir instan untuk memperkaya diri secara cepat, salah satunya dengan menginvestasikan uangnya dengan Skema Ponzi atau money game. (*)

Related Posts

News Update

Top News