Oleh Dr. Dewi Tenty Septi Artiany, S.H., M.H., M.Kn.
PANDEMI yang berkepanjangan tidak hanya merepotkan dunia kesehatan, tapi juga meluluhlantahkan perekonomian nasional. Kebijakan PPKM mengakibatkan efek domino bagi masyarakat. Ditutupnya sarana publik maupun privat berpengaruh terhadap laju produktivitas dunia usaha dan berimbas pada pengurangan tenaga kerja dan berkurangnya pendapatan masyarakat, baik di sektor formal maupun informal. Di lain sisi, kebutuhan masyarakat terus meningkat, baik kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan obat-obatan dan suplemen kesehatan.
Meningkatnya kebutuhan masyarakat mendorong peningkatan platform keuangan yang menyediakan pelayanan pinjaman dengan mudah dan cepat. Sebuah layanan yang ditawarkan secara online tanpa harus bertatap muka dan dengan prasyarat dokumen-dokumen yang ribet. Tinggal klik, maka dana akan tersedia di rekening pemohon. Kemudahan layanan ini kadang membuat masyarakat lupa dan abai bahwa ada bahaya di balik kemudahan yang ditawarkan itu, yaitu bunga yang sangat tinggi, biaya administrasi yang besar, dan jangka waktu pengembalian yang singkat serta risiko lain apabila pinjaman tersebut tidak dibayarkan tepat waktu, yaitu adanya penyebaran informasi nasabah ke seluruh kontak yang ada di telepon seluler (ponsel)-nya.
Peer to peer (P2P) lending atau fintech adalah badan hukum penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (TI), dapat berbentuk PT atau koperasi. Penyelenggaraan fintech diatur dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), yaitu tentang pengawasan, penyelenggaraan, dan tata cara layanan pinjam meminjam berbasis TI. Tingginya permintaan masyarakat mengakibatkan menjamurnya fintech. Menurut data yang dikeluarkan oleh OJK, per 27 Juli 2021 terdapat 121 perusahaan fintech lending berizin dan terdaftar di OJK.
Penyelenggara fintech tentunya harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah wajib memiliki modal (disetor) paling sedikit Rp1 miliar pada saat pendaftaran dan Rp2,5 miliar pada saat mengajukan permohonan perizinan. Syarat ketat yang diminta oleh OJK di satu sisi, dan permintaan masyarakat yang makin meningkat di lain sisi membuat banyak fintech didirikan tidak sebagaimana mestinya. Fintech ilegal pun makin marak di masyarakat. Salah satunya adalah dengan mempergunakan badan hukum koperasi (simpan pinjam) – selanjutnya disebut KSP – yang ikut-ikutan melakukan usaha pinjaman secara online kepada masyarakat (yang bukan anggota).
Koperasi memang dapat menjadi penyelenggara usaha layanan fintech, tapi jenis koperasi apa yang diperbolehkan? Dan, tentunya harus mengikuti persyaratan yang diatur oleh OJK tentang badan hukum penyelenggara fintech.
Alasan KSP yang melakukan kegiatan fintech adalah adanya kemudahan pendirian KSP itu sendiri, sebagai badan hukum yang didirikan dengan tujuan untuk memberikan sebanyak-banyaknya kesejahteraan bagi anggotanya. Pendirian KSP tidaklah sesulit dan serumit pendirian badan hukum fintech. Cukup dengan modal minimal Rp15 juta saja sudah bisa mendirikan KSP.
Lantas, apa bedanya KSP online dengan penyelenggara fintech? KSP didirikan dengan maksud dan tujuan khusus, yaitu simpan pinjam dari dan untuk anggotanya saja. Sementara, koperasi yang dimaksud oleh POJK sebagai penyelenggara fintech adalah koperasi jasa keuangan yang biasanya berbentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM). LKM yaitu lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman maupun pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat. LKM yang terdafta di OJK sampai dengan saat ini berjumlah 228.
Jadi, apabila masyarakat menerima penawaran pinjaman online dari KSP, jelas itu adalah fintech ilegal. OJK sampai dengan Mei 2020 telah menutup 50 fintech ilegal berkedok koperasi walaupun KSP tersebut untuk kegiatan online-nya telah terdaftar di Kominfo. Kominfo sendiri sampai dengan Juni 2021 telah menangani 447 fintech ilegal yang terindikasi merugikan masyarakat.
Perlu dipahami bahwa pendaftaran penyelenggaraan sistem elektronik (PSE) di Kominfo konteksnya administratif bukan perizinan. Untuk lebih jelasnya, masyarakat dapat melihat penyelenggara pinjaman online yang resmi terdaftar di situs resmi OJK, yaitu www.ojk.go.id (pilih opsi IKNB dan pilih bagian fintech).
Kembali ke koperasi, KSP adalah koperasi yang melaksanakan kegiatan usahanya hanya untuk simpan pinjam, dari dan bagi anggotanya. Prinsip dual identity pada anggota wajib diterapkan. Fungsi anggota sebagai pengguna dan pemilik koperasi menjadi modal utama bagi tumbuh kembang dan terciptanya kemandirian koperasi sekaligus melindungi koperasi dari penyalahgunaan fungsi, wewenang, dan tata kelola yang dapat merugikan koperasi itu sendiri.
Sejatinya koperasi di Indonesia muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap lintah darat yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi dan dari tekanan para pengijon terhadap petani. Bung Hatta dalam pidatonya yang disampaikan dalam rangka hari koperasi pertama menyebutkan bahwa koperasi memiliki tugas untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus menjawab tantangan untuk menciptakan kesempatan kerja bagi rakyat.
Pada kenyataannya di Indonesia KSP tumbuh subur dengan alasan tuntutan keadaan (supply dan demand). Masyarakat perlu diingatkan lagi spirit dari R. Aria Wiria Atmadja yang mendirikan koperasi pertama kali untuk menghapuskan lintah darat dan isapan pengijon yang sangat merugikan rakyat kecil, dengan memberikan mereka modal dan kesempatan untuk dapat lebih sejahtera, kesejahteraan sebanyak-banyaknya orang, bukan untuk kesejahteraan sekelompok orang saja. Maka, sangat disayangkan apabila fintech ilegal berkedok KSP ini kian menjamur karena sangat tidak sejalan dengan jiwa koperasi dan dampaknya akan sangat merugikan masyarakat.
Tentunya harus ada tindakan tegas dari Kemenkopukm sebagai pembina dan pengawas kepada koperasi yang menjalankan praktik fintech ilegal, agar tidak menimbulkan kerugian di masyarakat dan dapat menimbulkan rasa ketidakpercayaan masyarakat kepada koperasi.
*) Penulis adalah Pemerhati Koperasi & UMKM