Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
JUAL beli rekening sudah seperti jual beli minuman keras di kios-kios jamu tradisional. Tampak bebas dan nyata, meski diam-diam. Bisa jadi jual beli rekening ini sudah masuk darurat kejahatan digital. Ada penjual, dan ada pembeli. Dan, jual beli rekening yang terus makin masif ini meresahkan masyarakat karena digunakan untuk kejahatan keuangan, bahkan terorisme.
Sumber kejahatan keuangan telah meningkat di berbagai sektor, termasuk sistem pembayaran. Itu disebabkan oleh banyak faktor. Satu, melonjaknya volume e-commerce dan pembayaran online. Segaris dengan itu, meningkat pula penipuan. Dua, banyaknya pengangguran, kemiskinan, dan putus asa secara finansial di tengah budaya konsumerisme.
Tiga, selama COVID-19 banyak perusahaan fiktif yang menawarkan secara online. Empat, berkembangnya sistem pembayaran melalui shadow banking, e-wallet, dan pembayaran digital. Lima, meningkatnya rekayasa sosial, yang disebabkan oleh meningkatnya adopsi media sosial (medsos) dan meningkatnya jumlah orang yang bekerja dari rumah (selama COVID-19).
Baca juga: OJK Ungkap Marak Jual Beli Rekening Bank Gede untuk Judi Online, Harganya Rp5 juta
Untuk kasus di Indonesia, ada tiga hal yang membuat kejahatan finansial ini makin masif. Masyarakat Indonesia masih banyak yang buta literasi keuangan, plus literasi digital dan literasi cyber crime serta cyber fraud. Ketiganya saling memengaruhi, sehingga kejahatan finansial tumbuh subur dengan penegakan hukum yang rendah.
Adanya gap yang lebar antara inklusi keuangan dan literasi keuangan. Maraknya jual beli rekening bisa jadi karena faktor ketidakpahaman. Apalagi, diungkapkan oleh salah satu direksi bank besar, bahwa rekening-rekening yang dipakai hampir seluruhnya milik rakyat kecil yang buta finansial. Ada yang kena tipu dengan menyerahkan rekening dengan imbalan yang tak sepadan. Tak sedikit pula yang teperdaya karena dalih bantuan sosial. Tanpa sadar, rekening dipakai dengan mudahnya oleh “jambret” digital ini. Para korban yang data banknya diam-diam diambil itu adalah orang-orang miskin.
Beberapa orang mungkin tidak menyadari bahwa terlibat dalam transaksi semacam itu adalah ilegal dan dapat berdampak buruk pada diri mereka sendiri dan orang lain. Tentang siapa yang sering menjual rekening bank, ini dapat bervariasi. Ada individu yang sengaja mencuri data pribadi orang lain untuk kemudian menjualnya. Ada juga kasus di mana orang-orang yang memiliki rekening bank yang tidak aktif atau tidak digunakan lagi, lalu menjualnya kepada pihak lain untuk mendapatkan keuntungan finansial.
Hari-hari ini Facebook, Instagram, dan WhatsApp menjadi lahan subur bagi para penipu. Selain menggunakan platform itu, kejahatan digital yang melibatkan rekening ini memanfaatkan jalur transfer dan tentunya kini banyak menggunakan BI-Fast dan online bank.
Hal itu mau tak mau Bank Indonesia (BI), yang menjadi pusat transfer terbesar di Indonesia, paling tidak ikut “cawe-cawe” terkait program memberantas kejahatan digital dan jual beli rekening ini. Pendek kata, BI harus ikut membantu memerangi jual beli rekening ini dengan bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan banyak instansi penegak hukum.
Saat ini, dalam menjaga integritas sistem keuangan, OJK memerintahkan perbankan untuk memblokir sejumlah rekening yang digunakan dalam aktivitas ilegal, tipu-tipu transfer dengan pura-pura jual beli barang, termasuk judi online. Itu mengacu pada Pasal 36A ayat (1), huruf c, angka 33; dalam Pasal 14 dan Pasal 52, ayat (4), huruf c, angka 42; dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Baca juga: Tegas! OJK Blokir 1.700 Rekening Terkait Transaksi Judi Online
Di negara-negara lain, seperti Tiongkok, Hong Kong, dan Singapura, kerja sama antara otoritas keuangan dan pihak-pihak penegak hukum menjadi kunci. Jadi, belajar dari itu, regulasi menegakkan integritas sektor keuangan yang dilakukan oleh OJK adalah langkah pengawasan yang baik.
Namun, hal itu perlu kolaborasi dengan penegak hukum, Kementerian Komunikasi dan Informatika, termasuk BI yang punya “jalur sutra transfer” BI-Fast. Semisal, BI punya semacam sistem, di mana pengguna dapat dengan mudah, tinggal klik, ”laporkan penipuan atau pencurian”. Menu ini sudah dimiliki oleh TikTok dengan otomatis dapat menelusuri para penjual.
Jujur, menegakkan integritas sektor keuangan jangan hanya dilimpahkan ke OJK semata, tapi sudah menjadi tanggung jawab kita semua. Negara harus sering hadir di tengah masyarakat yang buta literasi keuangan, literasi digital, dan literasi cyber crime dan cyber fraud. Selama ini bank-bank, khususnya bank besar, yang pontang-panting sendiri menghadapi rekening asli tapi palsu ini.
Jual beli rekening itu nyata adanya, tapi mengapa negara hanya sibuk mengurus politik, sementara masyarakat-nya lebih asyik bicara surga dan neraka. Di lain sisi, kebutaan akan finansial makin mendorong masyarakat menuju lorong gelap kemiskinan struktural.
Negara tidak boleh absen dalam darurat jual beli rekening ini. Stop!