Awas! Ini Modus Fraud Kredit Perbankan yang Paling Sering Terjadi

Awas! Ini Modus Fraud Kredit Perbankan yang Paling Sering Terjadi

Jakarta – Ombudsman Indonesia mengungkapkan temuan terbaru terkait modus fraud di industri perbankan.

Berdasarkan laporan pengaduan dari masyarakat, Ombudsman mencatat terdapat 14 bentuk fraud yang terjadi di lembaga perbankan.

Ombudsman merinci 14 bentuk fraud tersebut, antara lain:

  1. Penggelapan dana deposito nasabah.
  2. Penyalahgunaan aset.
  3. Pencucian uang dengan menggunakan rekening nasabah
  4. Pemalsuan dokumen jual beli atau dokumen pengalihan hak.
  5. Pembuatan dokumen jual beli atau dokumen pembuatan pengalihan hak yang tak diketahui pelapor.
  6. Pembuatan surat permohonan restrukturisasi bukan oleh nasabah dan pembuatan akad kredit yang tidak ditandatangani nasabah.
  7. Kelalaian pengamanan agunan, sehingga bank dirugikan karena tidak menguasai agunan sebagai jaminan pemberian kredit.
  8. Penggelapan dana tabungan nasabah.
  9. Pemalsuan dokumen calon nasabah dalam pembukaan tabungan.
  10. Penggelapan agunan nasabah secara sengaja.
  11. Pemalsuan dokumen penagihan kepada nasabah.
  12. Penagihan kredit kepada nasabah dengan pengancaman dan perbuatan tidak menyenangkan.
  13. Pencairan kredit kepada nasabah dengan jaminan piutang yang dimiliki nasabah tanpa analisis kredit dan tanpa sepengetahuan pihak yang dialihkan utangnya.
  14. Penggelapan dana masyarakat melalui Misselling Produk Asuransi Unit Link.
Baca juga: Ngeri! Ombudsman Ungkap Temuan Terkait Kejahatan Siber-Pinjol, Cek Penyebabnya

Kepala KU III Ombudsman RI, Yustus Y. Maturbongs mengungkapkan, dari keempat belas modus tersebut, kasus fraud terkait kredit, termasuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR), menjadi yang paling sering diadukan.

“Tapi yang paling tren di kita itu soal KPR. Jadi, misalnya orang sudah lunas KPR, tetapi sertifikatnya belum dapat bertahun-tahun. Nah, persoalannya itu biasanya ini dari KPR perumahan-perumahan di tahun-tahun yang lama, 15 sampai 20 tahun yang lalu,” sebut Yustus, ditemui usai acara diskusi publik bertajuk “Pencegahan Maladministrasi dan Penegakan Hukum terhadap Kejahatan di Sektor Perbankan”, di Jakarta, Kamis, 8 Mei 2025.

Siap Kalah di Negosiasi Tarif Trump?

Yustus pun memaparkan masalah sertifikat KPR yang tak kunjung diberikan. Menurutnya, hal itu umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain persoalan sertifikat di pihak developer yang hilang atau raib, maupun di notaris yang kemudian juga hilang atau raib, serta dapat juga disebabkan adanya permasalahan antara pihak developer maupun notaris dengan hukum.

“Tapi juga bisa karena ada persoalan terkait dengan para debitur yang tidak diketahui keberadaannya. Jadi, misalnya ada satu obyek perumahan KPR, sudah bertahun-tahun di situ, tapi kemudian tidak dilunasi, lalu kemudian pergi (penghuninya), lalu datang penghuni baru,” jelas Yustus.

“Tapi pada prinsipnya, permasalahan KPR itu yang paling banyak diadukan. Sudah lunas, namun belum mendapatkan sertifikat,” tegasnya lagi.

Nilai Kerugian Mencapai Rp200 Miliar

Yustus menyebutkan bahwa nilai penyelamatan kerugian masyarakat di sektor perbankan mencapai Rp100 miliar-Rp200 miliar, atau setengah dari total penyelamatan Rp500 miliar selama periode 2021-2025.

“Nilai penyelamatan ini adalah untuk masyarakat, bukan penyelamatan kerugian negara,” bebernya.

Baca juga: Gak Cuma Pakai Teknologi, Ini Jurus Jitu Bank Hadapi Serangan Siber

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa sejak Ombudsman melakukan penanganan, angka pengaduan terkait fraud kredit menurun. Puncak pengaduan terjadi pada periode 2021-2022, dan setelah itu, pihaknya melakukan rapid assessment yang mendorong industri perbankan untuk melakukan perbaikan internal dalam hal KPR. 

“Jadi, bisa ada klasifikasi soal developer yang qualified, developer nakal. Oleh karenanya, sudah mulai tertata, sudah mulai tidak terlalu banyak (kasus KPR bermasalah),” timpal Yustus. 

Rekomendasi Ombudsman untuk Cegah Fraud

Untuk meminimalisir kasus fraud, Ombudsman merekomendasikan beberapa langkah kepada institusi perbankan dan pemangku kepentingan terkait, antara lain:

  1. Deteksi dini melalui whistle blowing, surprise audit, dan surveillance system.
  2. Investigasi, pelaporan, dan audit secara transparan dan akuntabel.
  3. Penyediaan dan penguatan mekanisme penanganan pengaduan internal.
  4. Mutasi atau rotasi pegawai berlandaskan kompetensi.
  5. Evaluasi dan monitoring untuk pencegahan, deteksi, dan perbaikan.

(*) Steven Widjaja

Related Posts

Top News

News Update