Jakarta – Keterbatasan akses permodalan kepada pihak bank menjadi masalah akut yang dihadapi para petani kecil di Indonesia. Kondisi ini menyebabkan nasib petani terpinggirkan sehingga tidak bisa berkembang.
Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM ) Teten Masduki mengatakan, pihaknya saat ini coba mengurai permasalahan tersebut dengan memulai sistem fre-financing yang telah diujicoba pada Koperasi Pondok Pesantren Al Ittifaq yang berlokasi di Jawa Barat.
“Kami adopsi dari Amerika Serikat karena di sana departemen pertanian sudah mempunyai fre-financing dan petani sudah memiliki rencana produksi sehingga mudah untuk mengajukan pembiayaan,” kata Teten dalam acara “Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan Jawa Timur 2023, Jumat, 17 Maret 2023.
Pihaknya mencoba mengadopsi sistem tersebut karena menginginkan mempunyai dana bergulir di koperasi. Di mana, petani di Koperasi Pondok Pesantren Al Ittifaq diperkuat untuk bisa membeli tunai. Dengan begitu, kata dia, akan berdampak kepada kepastian harga lantaran koperasi sebagai offtaker dan mampu membeli secara tunai.
“Jadi, dampaknya bank mau membiayai petani kecil karena ada kepastian harga dan pasar. Potensi macet itu sudah tidak ada,” jelasnya.
Di lain sisi, Teten menilai koperasi menjadi salah satu solusi dalam mengendalikan inflasi pangan karena memiliki peran sebagai offtaker sehingga petani memperoleh kepastian harga dan pasar. Sayangnya kata dia, struktur pertanian di Tanah Air didominasi petani kecil yang memiliki lahan sempit sehingga menyebabkan produksi pertanian tidak maksimal.
Berdasarkan data BPS kata dia, hanya ada sekitar 0,3 hektare lahan pertanian milik petani. Kondisi ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan korporat farming dunia yang sudah memiliki lahan pertanian luas. “Kita tidak mungkin menjaga komunitas produksi pertanian karena struktur pertanian di sini didominasi petani kecil perorangan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, pihaknya melakukan inisiasi program korporatisasi petani kepada Presiden Joko Widodo agar para petani tidak lagi berjalan sendiri-sendiri dan lebih efisien.
Ia mencontohkan, sudah membangun koperasi pisang skala 400 hektare yang berlokasi di Lampung di mana offtakernya ada yang berasal dari Jepang dan Singapura.
“Di Ciwidey juga mendandani koperasi yang sudah ada. Sebanyak 1.200 petani sayur sudah bermitra dengan 90 pesantren. Termasuk di Jawa Timur ini akan kami petakan apa yang bisa dikembangkan dalam korporatisasi petani,” tandasnya. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra