Dia menjelaskan, rate yang ditawarkan perusahaan reasuransi internasional membuat perusahaan reasuransi di dalam negeri tidak mampu bersaing karena kapasitasnya terbatas. Tentu kondisi seperti ini menjadi persoalan tersendiri dan perlu ada keberpihakan dari regulator guna menjembatani permasalahan ini.
“Preminya mungkin besar dan dia dapat rate yang bersaing kalau di luar sana. Karenanya mereka berani ambil risiko. Kalau risiko-risiko besar tidak masuk ke KPIAI-TS. Itu memang persaingan internasional,” ujar Arizal.
Kemudian persoalan kedua, terletak pada posisi kapasitas yang dimiliki KPIAI yang hanya mencapai Rp145 miliar atau setara dengan US$10,8 juta. Jika besaran angka tersebut dibandingkan dengan investasi kilang minyak seperti Pertamina yang nilainya ratusan triliun, tentunya angka kapasitas tersebut terbilang sangat kecil.
“Kalau bicara aset-aset minyak yang miliaran dolar maka tidak ada artinya US$10,8 juta. Katakan untuk kilang Pertamina atau pembangkit listrik maka kapasitasnya terlalu besar. Sebab, mereka bicara ratusan juta dolar,” ucapnya.
Oleh sebab itu, kata dia, OJK perlu menerapkan aturan agar premi bisa maksimal ditempatkan di perusahaan reasuransi dalam negeri secara maksimal, dan tidak lagi secara penuh dilemparkan ke perusahaan reasuransi di luar negeri. Hal tersebut dianggap perlu agar dapat memaksimalkan pertumbuhan industri asuransi dan reasuransi di Indonesia.
“Kami sedang bahas dengan OJK mengenai hal itu. Kami harap perusahaan asuransi yang menjual produk teroris dan sabotase itu menempatkan maksimal ke dalam negeri dulu. Kalau sekarang kan, terbit polis lalu sebanyak 99,9% bisa langsung dikeluarkan ke luar negeri. Kita harapkan dari OJK ada aturannya,” tutupnya. (*)