Jakarta – Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP) adalah sistem yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) dalam industri sistem pembayaran di Tanah Air. Sistem ini diresmikan melalui “Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia No.23/10/KEP.GBI/2021 tanggal 16 Agustus 2021 tentang Penetapan Standar Open Application Programming Interface (API) Pembayaran”.
Tata Martadinata, Head of Product and Technology Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), bercerita awal penyusunan SNAP, yang menurutnya menantang. ASPI memerlukan tiga dokumen, yang mana salah satunya adalah spesifikasi teknis dengan total 600 halaman.
“Ketika menyusun SNAP ini ada tiga dokumen. Totalnya untuk spesifikasi teknis itu ada 600 halaman. Ini dikembangkan oleh 15 perusahaan di Indonesia,” kenang Tata pada acara Infobank Forum Open Banking Trends 2024 bertajuk Integration of Digital Payment Systems for Business Continuity, Selasa, 7 Mei 2025.
Tantangan lain yang dihadapi oleh ASPI adalah fakta bahwa masing-masing pengembang pembayaran digital sudah memiliki modelnya tersendiri, dan dianggap “lebih baik” dibandingkan model lain. Ini, menurut Tata, membuat mereka kesulitan mencapai satu kesepakatan.
Baca juga: Perkuat Ekonomi Digital, BI Siapkan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2030
“Waktu menyusun, lumayan challenging, karena semuanya punya model pembayarannya tersendiri, dan mengatakan ‘Saya yang terbaik. Saya yang sudah mikirin segala macam’. Kalau semuanya sudah berbicara begitu, gimana kita mau membuat suatu konsensus?,” lanjut Tata.
Untuk itu, kala menyusun draf SNAP, Tata berujar kalau semua pihak harus berbesar hati dalam pengerjaannya. Tidak sampai di sana, semuanya juga harus selesai tepat waktu, tidak boleh terlambat. Saat itu, Tata dan timnya rapat dua kali seminggu demi mencapai target.
Lebih lanjut, pihaknya juga tidak boleh membatalkan kesepakatan yang sudah mereka tentukan sebelumnya. Pengerjaan ini berlangsung selama 3-4 bulan, sebelum akhirnya draft pertama diselesaikan. Setelah itu pun, ASPI dan pihak lain yang terlibat juga perlu melakukan segudang revisi hingga akhirnya SNAP bisa diluncurkan.
Tantangan lain yang dihadapi oleh ASPI, menurut Tata, adalah ketiadaan payung hukum soal pelindungan data konsumen, yang menjadi integral dalam SNAP. Ini sempat membuat mereka bingung mengenai regulasi pelindungan data, sehingga hanya mengacu kepada Regulasi Umum Perlindungan Data (GDPR) yang berlaku di Eropa.
“Jika berbicara Open API, kita juga berbicara soal pelindungan data. Kalau sekarang sudah ada Undang-undang Pelindungan Data Privadi (PDP), pada saat ini dibentuk belum ada. Waktu itu kita cuma lihat GDPR. Istilah-istilah GDPR di Indonesia itu nggak ada,” terangnya.
Tata berujar, perusahaan-perusahaan memang memiliki regulasi tersendiri soal pelindungan data. Tetapi, kali ini ASPI membentuk sistem yang mencakup seluruh Indonesia. Pada saat itu, mereka menciptakan sesuatu yang secara hukum, belum tersedia.
Baca juga: SNAP Percepat Integrasi Sistem Pembayaran Digital
Ada juga tantangan berupa edukasi terhadap pelaku industri pembayaran digital. Tata mengungkapkan, jumlahnya banyak, dari bank-bank dengan aset di atas Rp1.000 triliun hingga bank kecil yang modal sekitar miliaran. Tetapi, edukasi ini penting karena SNAP yang terintegrasi dari satu entitas dengan entitas lain, bisa memengaruhi kinerja sistem pembayaran digital secara keseluruhan.
“Kita memperlakukannya sama. Keamanannya kita buat sama. Kenapa? Karena sudah saling terhubung. Kelemahan di satu titik bisa berpengaruh ke yang lain,” jelas Tata.
Terlebih, lanjut Tata, mengingat tidak semua pelaku usaha memiliki pengalaman yang sama, penting bagi ASPI untuk memperoleh demonstrasi dan arahan terkait bagaimana SNAP ini bisa digunakan. (*) Mohammad Adrianto Sukarso