Jakarta – Di Tiongkok dan Eropa, perusahaan financial technology (fintech) sudah mulai berguguran. Fenomena ini sepertinya menular ke Indonesia. Sejumlah fintech papan atas mulai menunjukan gejala-gejala penurunan performa. Misalnya, pengurangan karyawan dalam jumlah yang signifikan.
Meskipun demikian, menurut Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Mercy Simorangkir, hal tersebut tidak benar. Berdasarkan data yang AFTECH miliki, industri fintech terus tumbuh. Ini bisa dilihat dari meningkatnya jumlah pemain dan jumlah vertical. Contohnya, dari 24 perusahaan fintech yang menjadi anggota AFTECH pada 2016, meningkat menjadi 310 perusahaan fintech pada kuartal I 2020.
“Selanjutnya pertumbuhan fintech juga ditunjukkan oleh meningkatnya adopsi atau penggunaan layanan fintech di masyarakat. Uang elektronik, misalnya, terus menunjukkan tren positif dan di bulan April 2020 jumlah uang elektronik beredar mencapai 412.055.870 menurut Bank Indonesia (BI),” kata Mercy, kepada Infobank, di Jakarta, Senin, 31 Agustus 2020.
Berdasarkan data Bank Indonesia pada bulan April 2020, tingkat pertumbuhan bulanan rata-rata untuk transaksi e-Money di Indonesia sebelum pandemi COVID-19 adalah 5% atau sama dengan tingkat pertumbuhan bulanan rata-rata untuk transaksi e-Money di Indonesia. Setelah adanya pandemi, tingkat pertumbuhannya naik menjadi 9%. Pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini sangat signifikan dalam mendorong transformasi digital, termasuk di sektor jasa keuangan.
Sama seperti seluruh kegiatan usaha lain di dunia, industri keuangan digital juga mengalami dampak dari pandemi COVID-19. Dari hasil survei yang AFTECH lakukan kepada anggotanya selama dua kali sepanjang periode April – Juni 2020, diketahui bahwa sebagian besar penyelenggara fintech merasakan dampak negatif dari pandemi berupa tantangan dalam produktivitas dan keberlangsungan usaha akibat penerapan WFH; penurunan jumlah pengguna, terutama UMKM, jumlah transaksi serta jumlah pemasukan; penundaan pelaksaan ekspansi bisnis, serta pengaruh dalam merealisasi timeline fundraising.
“Untuk meminimalisasi dampak COVID-19 terhadap kegiatan usaha perusahaan, penyelenggara fintech telah melakukan beberapa langkah mitigasi seperti memperkuat cash management, menunda ekspansi usaha, pivoting, bahkan memberlakukan berbagai kebijakan efisiensi dalam HRD. Ini semata-mata merupakan respons atas faktor eksternal yang tidak pernah diduga sebelumnya, yakni pandemi,” tambahnya.
Dari survei yang sama, AFTECH pun melihat ada juga anggota dan penyelenggara fintech yang mengalami pertumbuhan pada masa pandemi COVID-19 ini. Hal ini terutama didorong dari meningkatnya aktivitas digital karena implementasi kebijakan WFH dan physical distancing. Beberapa penyelenggara fintech memperoleh tambahan user dan/atau klien baru dan berkesempatan untuk mengembangkan lini usaha melalui kolaborasi dengan lembaga jasa keuangan seperti perusahaan asuransi.
Jenis-jenis fintech yang terus tumbuh selama pandemi ini di antaranya adalah digital payments, digital remittance, digital lending, digital investment, dan digital insurance. Di sisi lain, fintech enablers seperti, E-KYC, electronic signature serta robo-advisor juga mengalami peningkatan permintaan untuk produk dan layanan mereka karena pergeseran ke arah Low Touch Economy.
“Kami meyakini bahwa industri fintech di Indonesia sangat berpotensi untuk terus tumbuh dengan cepat. Selain transformasi digital yang sangat terdorong oleh pandemi COVID-19, regulatory environment yang suportif terhadap perkembangan fintech, terutama dengan tujuan untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia, juga sangat mendukung potensi pertumbuhan fintech di Indonesia,” pungkasnya. (*) Ayu Utami