Konferensi Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) di Amsterdam, Belanda, 1967. (Foto: Wikipedia)
Poin Penting
Jakarta – Setelah mengambil alih kekuasaan dari Soekarno pada 1967, Soeharto menghadapi kondisi ekonomi yang sangat tidak stabil. Indonesia mewarisi utang luar negeri besar dan hiperinflasi hingga 650 persen, yang memicu lonjakan harga kebutuhan pokok.
Untuk mengatasi krisis tersebut, Soeharto menyusun berbagai strategi pemulihan ekonomi. Heinz Wolfgang Arndt dalam bukunya "The Indonesian Economy: Collected Papers (1984)" menyebut, pemulihan ekonomi Indonesia kala itu dibagi ke dalam tiga tahap: stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan.
Salah satu langkah strategisnya adalah membuka keran investasi asing. Soeharto kemudian membentuk Tim Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan, yang populer dengan sebutan Mafia Berkeley, yaitu kelompok ekonom lulusan Universitas Indonesia dan University of California, Berkeley, Amerika Serikat. Tokoh utamanya adalah Widjojo Nitisastro, arsitek utama ekonomi Orde Baru.
Tim ekonomi Soeharto tersebut melakukan lobi-lobi internasional untuk mendapatkan bantuan luar negeri. Hasilnya, pada Februari 1967, dibentuk Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) di Amsterdam, Belanda.
IGGI merupakan konsorsium negara donor, meliputi Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Jerman, dan lembaga internasional seperti Bank Dunia serta IMF, yang bertujuan mengoordinasikan bantuan dan pinjaman bagi Indonesia.
Secara singkat, IGGI menjadi solusi pemerintah Soeharto dalam mengatasi krisis ekonomi dan memperoleh dukungan dana pembangunan internasional. Bantuan diberikan dalam bentuk program penguatan neraca pembayaran, seperti kredit valuta asing, bantuan pangan, dan proyek infrastruktur.
Baca juga: Warisan Utang 8 Presiden RI: Dari Soekarno hingga Prabowo
Menurut akademisi, John Bresnan dalam bukunya Managing Indonesia: The Modern Political Economy (1993), sejak moratorium utang luar negeri diberlakukan dan IGGI dibentuk, arus pinjaman luar negeri mengalir deras. Pada 1967 saja, Indonesia berhasil memperoleh pinjaman sebesar USD200 juta.
Bahkan, antara 1967–1969, bantuan luar negeri menyumbang sekitar 28 persen pembiayaan pemerintah. Data USAID (1972) mencatat, selama kurun waktu tersebut, sejumlah negara antre memberikan bantuan.
Rinciannya, Belanda senilai USD140 juta dolar. Disusul Jerman USD84,5 juta, Amerika Serikat USD41,1 juta hingga Jepang USD10,6 juta.
Guyuran dana tersebut digunakan untuk memperbaiki perekonomian nasional dan memacu pembangunan.
Tak hanya itu, ketika Indonesia menghadapi utang USD40 juta kepada The Republic National Bank of Dallas pada 1976, IGGI turun tangan memberikan bantuan pembiayaan darurat senilai USD 1 miliar.
Page: 1 2
Poin Penting BRI membukukan laba bank only Rp45,44 triliun per November 2025, turun dari Rp50… Read More
Poin Penting Seluruh bank besar seperti BCA, BRI, Mandiri, BNI, dan BTN memastikan layanan perbankan… Read More
Poin Penting Bank Jateng membagikan dividen Rp1,12 triliun kepada Pemprov dan 35 kabupaten/kota di Jateng,… Read More
Poin Penting Perencanaan keuangan krusial bagi freelancer untuk mengelola arus kas, menyiapkan dana darurat, proteksi,… Read More
Poin Penting Pastikan kendaraan dan dokumen dalam kondisi lengkap dan prima, termasuk servis mesin, rem,… Read More
Bank Muamalat memberikan layanan “Pusat Bantuan” Muamalat DIN. Selain untuk pembayaran, pembelian, atau transfer, nasabah… Read More