Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
DAMAI. Sudah diduga. Amerika Serikat (AS) dengan gaya “gertak” Donald Trump tak membuat China ketakutan. Makin maju, dan China satu sisi secara moral sudah menang. Sementara Indonesia yang tampak “grusa-grusu” sudah menyatakan anak baik untuk bernegoisasi. Apakah Indonesia masuk perangkap tarif yang disebar oleh Donald Trump?
Dua raksasa ekonomi dunia akhirnya berhenti saling sikut. AS dan China, setelah bertahun-tahun saling hantam tarif hingga 145 persen dan 125 persen, kini berdamai dengan angka 30 persen dan 10 persen. Sebuah rekonsiliasi yang terasa manis, tapi bagi Indonesia justru meninggalkan rasa pahit di lidah.
Di tengah pesta perdamaian ini, kita malah asyik bermain api: menaikkan tarif ke AS dari 32 persen menjadi 47 persen sambil berpura-pura mesra dengan impor energi Amerika. Sebuah langkah kontradiktif yang membuat kita bertanya: apakah ini strategi cerdik atau blunder diplomatik yang akan memalukan?

Simak! Indonesia pernah punya peluang. Dan, tampaknya, peluang itu menguap sebelum sempat dinikmati. Sebab, ketika China tersandung tarif tinggi, ekspor elektronik kita ke AS sempat melesat 23,5 persen. Kini, saat naga merah itu kembali dengan tarif 30 persen, mimpi indah itu menguap bagai embun pagi. Produk tekstil dan alas kaki kita yang sempat menikmati pasar Amerika, kini harus gigit jari melihat produk China kembali mendominasi.
Baca juga: OJK: Sektor Jasa Keuangan Tetap Terjaga di Tengah Dinamika Perang Tarif Trump
Sisi lain, di Indonesia aksi premanisme dan birokrasi yang membelit, dan logistik yang mencekik menjadi batu besar dalam menghadapi daya saing. Biaya logistik yang lebih mahal dari China dan Vietnam — seperti pelari marathon yang membawa karung pasir. Tak heran jika dari 33 perusahaan yang kabur dari China, hanya 7 yang memilih Indonesia, sementara 19 lebih memilih Vietnam.
Ada fakta lain soal ketergantungan yang mengkhawatirkan. Faktanya, 70 persen bahan baku industri elektronik kita masih menggantungkan diri pada China. Jika perang tarif kembali memanas, gejolak yuan bisa membuat neraca bank-bank kita berantakan. Meski, saat ini, dengan redanya perang China Vs AS cukup membuat perbankan lebih tidak “dag-dig dug”, karena likuiditas akan lebih longgar.
Sedangkan “grusa-grusu”-nya Indonesia dengan negosisasi – yang hasilnya justru tarif dinaikan menjadi 47 persen dari tarif sebelumnya 32 persen. Trump tampak menggunakan gertaknya dan Indonesia memang bukan pion tapi belum menjadi ratu. Bahkan, ada yang menyebut, kenaikan tarif kita ke AS telah memasukkan Indonesia dalam daftar “Dirty 15” – negara yang diincar pembalasan AS.
Bahkan, ekspor senilai USD16,8 miliar terancam menjadi korban. Ibaratnya dari mulut singa ke mulut harimau. Pengalihan impor energi ke AS mungkin mengurangi ketergantungan pada China, tapi tanpa pengembangan energi terbarukan, Indonesia hanya berpindah dari satu ketergantungan ke ketergantungan lain. Hanya ganti pemain saja karena ganti rezim.
Namun demikian, Indonesia yang terus disayang Tuhan – siapa pun presidennya pertumbuhan ekonomi 4-5 persen sudah di tangan. Itu karena komoditas dan konsumsi. Bahkan, saat ini konsumsi “dicekik” anggaran, toh IMF tetap memproyeksikan pertumbuhan Indonesia 4,8-5,0 persen. Tapi, angka itu bisa jadi fatamorgana jika kita tetap bergantung pada ekspor bahan mentah. Sebab, hilirisasi nikel dan CPO masih jalan di tempat, sementara nilai tambah mengalir ke negara lain.
Waktu tidak banyak, jalan keluarnya secara normatif perlu menggunting birokraksi, tumpas premanisme yang berkedok resmi maupun abal-abal. Sudah waktunya berhenti jadi kuli di negeri sendiri dengan mempercepat hilirisasi dan industrtilisasi. Sebab, hilirisasi tanpa industri kita tidak akan menyerap tenaga kerja yang lebih banyak.
Damainya China Vs AS merupakan “grusa-grusu”-nya diplomasi dagang yang tak bisa membaca tanda-tanda zaman. Padahal, Trump sejujurnya hanya menggertak saja, dan kita takut terbirit-birit meski ekspor Indonesia hanya 2 persen dari Produk Domestik Broto (PDB) kita.
Kita tak harus menyerah pasrah atas semua permintaan AS. Harus lebih adil melindungi produk Indonesia dan bisnis orang Indonesia. Dan, tak selalu menjadi anak baik. Pelajaran penting jangan reaktif dan kebijakan perlu dipikir masak-masak, atau karena para pembantu Presiden – para menterinya masih kelas “magang”?
Baca juga: Siap Kalah di Negosiasi Tarif Trump?
Saatnya memilih jalan. Gencatan tarif AS-China adalah “bel sekolah” yang berdentang. Indonesia harus memilih: tetap menjadi penonton yang terombang-ambing, atau menjadi pemain yang menentukan arah sendiri.
“Dalam panggung ekonomi global, kita terlalu lama menjadi figuran. Saatnya menulis skenario sendiri, bukan sekadar mengikuti naskah orang lain.”
Sayangnya, kita lebih sibuk pada urusan kursi-kursi kekuasaan dengan berjamurnya kata demi rakyat — yang jujur sudah menjadi inflasi. Kata demi rakyat yang tak mudah lagi menggugah kepercayaan pasar – karena baru sebatas kita akan, kita akan dan belum disertai langkah nyata. Sesungguhnya, kita telah “mengubur” kepercayaan pasar dan masyarakat dengan mengumbar janji.
Saatnya mengubah langkah untuk menjadi pemain utama di dunia. Kita bisa! Sebab, kita punya semua, seperti sumber daya alam dan jumlah penduduk produktif. Hanya satu hal yang dibereskan, turunkan kebocoran atau (ICOR) terutama premanisme dan laci-laci birokrasi yang makin hari makin sulit dan tidak ramah terhadap pasar. (*)