Jakarta – Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengungkapkan, kepercayaan perbankan terhadap industri perusahaan pembiayaan (multifinance) mulai berangsur pulih. Kepercayaan ini kembali didapat karena perbankan melihat tata kelola dan manajemen risiko industri multifinance yang semakin baik.
“Perbankan melihat industri kita sehat. Apalagi kita sudah tergabung di SLIK, dan menggunakan teknologi biometric. Pendanaan dari perbankan sudah mulai naik. Kita harus mencari bank dalam negeri, yang mempunyai perjalan sama dengan kita. Bank dalam negeri melihat multifinance sangat baik. BOPO kita sudah di bawah 80%, gearing ratio sangat rendah,NPF (non performing financing) juga rendah,” terang Suwandi dalam High Level Forum: Membangun Industri Keuangan Non-Bank yang Sehat “Tata Kelola & Risk Management Sektor Pembiayaan & Asuransi di Tengah Ancaman Inflasi” yang digelar Infobank di Jakarta, Kamis, 28 Juli 2022.
Di masa pandemi COVID-19, perbankan memang selektif dalam mengalirkan pendanaan ke industri multifinance. Sejumlah perusahaan pembiayaan skala kecil hingga menengah, terutama yang tidak terafiliasi dengan bank, APM, ataupun konglomerasi keuangan lainnya, kesulitan mendapatkan pendanaan dari bank.
Kondisinya mulai membaik di awal 2022.
Mengacu pada data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pendanaan dari bank dalam negeri kepada industri multifinance memang mengalami kenaikan. Per April 2022, pendanaan dari bank dalam negeri mencapai Rp145,85 triliun, atau naik15,48% year on year (yoy) ketimbang Rp126,29 triliun di periode sama tahun 2021. Sedangkan pendanaan dari bank luar negeri mengalami kontraksi 30,97%, dari Rp68,54 triliun menjadi Rp47,31 triliun di April 2022.
Industri multifinance, lanjut Suwandi, menunjukkan kepada perbankan bahwa pelaku industri yang ada saat ini adalah perusahaan yang sehat dan menjalani aturan yang ada. Untuk meningkatkan kepercayaan semua pemangku kepentingan, termasuk perbankan, pelaku industri multifinance pun menerapkan GRC (governance, risk, and compliance). Governance atau tata kelola mencakup perumusan strategi, goal dan objectives, kebijakan dan prosedur, struktur dan proses. Ini menjadi landasaran perusahaan dalam menjalankan operasionalnya.
Baca juga : Setelah Izin 51 Perusahaan Dicabut, Bagaimana Daya Tahan Multifinance Hadapi Inflasi Global
Lalu dari sisi risk management, mencakup mengindentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang ada pada organisasi. Sedangkan compliance menjadi panduan organisasi harus bekerja, beroperasi secara bertanggung jawab. Caranya dengan mematuhi semua aturan yang berlaku.
“Kerangka implementasi GRC harus dating dari atas dan mendapat dukungan dari semua pemangku kepentingan. Kita juga melihat kondisi kita internal dan eksternal. Jika kita melakukan itu semua, kita akan mempunyai kerangka GRC yang sangat komprehensif dan sangat baik untuk perusahaan kita masing-masing,” jelas Suwandi. (*) Ari Astriawan