Oleh Awaldi
KEBIJAKAN Tapera yang baru diluncurkan pemerintah dan turut disosialisasikan Presiden Jokowi memicu banyak komentar. Ada yang merasa bahwa kewajiban iuran bulanan ini kurang tepat karena sebagian karyawan sudah punya rumah, untuk apa mengiur lagi. Sebagian ada yang curiga bahwa duit yang terkumpul nantinya tidak akan dikelola dengan governance yang baik sehingga berpotensi menjadi bancakan para pejabat. Ada juga karyawan yang sudah pernah mengikuti program serupa menunjukkan bahwa setelah pensiun, duit tabungannya yang kembali tidak sampai Rp10 juta. Padahal, dia sudah ikut program seumur-umur bekerja: lebih dari 30 tahun.
Infobank juga menurunkan beberapa tulisan, baik oleh wartawannya sendiri, redaktur majalah, maupun pakar, yang menggambarkan kekhawatiran atas pungutan baru pemerintah ini. Terutama, iuran yang sifatnya wajib.
Pertanyaannya, kenapa bukan sukarela saja? Infobank bahkan menyoroti terkait dengan timing-nya yang kurang pas. Bahwa saat ini adalah masa memasuki paceklik: inflasi bakal tinggi, duit beredar sedikit, utang negara banyak, dan nilai kurs rupiah terus tergerus – mencapai lebih dari Rp16.000 per USD1.
Iuran Tapera ini tak hanya berlaku bagi pegawai negeri atau pegawai badan usaha milik negara (BUMN). Iuran wajib ini akan diberlakukan kepada semua karyawan, baik pegawai negeri maupun swasta. Termasuk, karyawan bank. Para karyawan setiap bulan mesti merogoh 2,5 persen dari gajinya untuk disetorkan ke Tapera, dan 0,5 persen diambil dari kocek perusahaan atau bank tempatnya bekerja.
Baca juga: Balada Pegawai Akan “Dipalak” Iuran Tapera di Tengah Badai PHK
Apakah hidup karyawan bank makin susah? Jumlah bank makin lama makin sedikit. Jumlah kantor bank menurun secara drastis sejak COVID-19 pada 2020. Menurut catatan Infobank, sejak 2015 karyawan bank sudah di-PHK secara senyap dengan jumlah mencapai hampir 50.000 orang. Dari sekitar 500.000 orang pada 2015, sekarang jumlahnya kurang dari 450.000 orang.
Gaji karyawan bank pun boleh dibilang terhenti kenaikannya sejak 2020 karena bank memasuki masa konsolidasi lantaran banyaknya kredit macet ataupun aset yang kurang berkualitas akibat serangan COVID-19 terhadap real industry di Indonesia.
Lantas, apakah hidup karyawan bank makin susah? Didera sana sini dan bakal ditambah dengan iuran Tapera yang baru? Tentu, yang susah makin susah, yang tenang tetap tenang. Tergantung melihatnya dari perspektif yang mana. Kalau dari perspektif positive psychology, tentu semua ini dilihat sebagai tantangan, bukan kesusahan.
Kalau dibilang masa sulit, memang sekarang saja para karyawan bank menghadapi masa sulit? Sepertinya, hidup berganti masa bertukar tetap saja ada masalah dan kesulitan perbankan yang ujug-ujug menghampiri. Lebih parah mana kondisi sekarang dibandingkan dengan krisis moneter 1998? Atau, bahkan dengan krisis perbankan global pada 2008? Atau, jika dibandingkan dengan masa COVID-19 pada empat tahun lalu? Rasanya lebih sulit masa sebelum era Tapera ini.
Hidup itu memang dari sananya sudah susah. Kalau tidak susah, namanya bukan hidup. Yang tidak punya risiko dalam hidup, ya orang yang sudah mati. Selagi kita hidup, pasti kesusahan dan kesulitan akan menghampiri satu per satu. Yang susah adalah situasinya. Tapi, kita sebagai manusia belum tentu punya pikiran susah dalam menghadapinya. Sekali kita lihat bahwa hidup ini adalah serial dari problem, maka selebihnya kita akan menikmati setiap momen dalam hidup ini. Termasuk, momen yang tidak sesuai dengan harapan kita.
Hidup akan selalu diwarnai dengan keajaiban dan kemudahan jika kita tidak banyak mengeluh dan memandang setiap hal adalah persoalan. Gaji yang tidak naik-naik bukan urusan kita sebagai karyawan. Mungkin bank tempat kita bekerja sedang melakukan konsolidasi dan membutuhkan modal untuk pengembangan usaha.
Baca juga: Polemik Tapera di Tengah Tidak Ada Kepastian Imbal Jasa bagi Anggota
Gaji belum naik, bonus tidak ada, biarkan semua itu jadi urusan para petinggi, pejabat, dan orang-orang divisi SDM. Tugas kita sebagai karyawan bank adalah bekerja seoptimal mungkin. Memberikan yang terbaik yang kita miliki bagi keberlangsungan bank tempat kita bekerja dalam melayani nasabah dan masyarakat yang banyak.
Kemampuan kita sebagai karyawan yang dengan cermat memilih fokus kehidupan kita – yaitu tidak terlalu pusing memikirkan apa yang menjadi kebijakan pemerintah atau bank, tapi justru fokus dalam bekerja dan memberikan yang terbaik bagi perusahaan – akan menentukan kondisi kejiwaan kita sendiri. Apakah sering terguncang atau jiwanya lebih tenang. Dan, hanya dalam jiwa yang lebih tenang dan pasrah saja bersemayamnya misteri kehidupan dengan kemudahan dan keajaiban yang disajikannya.
Penulis adalah pemerhati SDM bank, kandidat doktor Unibraw, dan pernah bekerja di bank sebagai direktur HR dan direktur operasi dan teknologi.