Oleh Budi Santoso SE. Ak. MForAccy. PGCS. CA. CFE. CPA (Aust.). QIA, Vice President ACPE Indonesia Chapter & Lecturer for Forensic Accounting Class at Sebelas Maret University
KORUPSI adalah salah satu masalah yang paling merusak di dunia, menghambat pembangunan ekonomi, mengurangi kepercayaan publik, dan menciptakan ketidaksetaraan. Meski sebagian besar negara memilih pendekatan garis keras untuk memberantas korupsi, konsep partial impunity—pengampunan terbatas kepada pelaku korupsi—telah muncul sebagai alternatif pragmatis di beberapa negara.
Hong Kong, Korea Selatan, dan negara-negara lain menunjukkan bagaimana pendekatan ini dapat digunakan sebagai alat transisi menuju tata kelola yang lebih baik. Namun, apakah langkah ini selalu efektif?
Artikel ini menganalisis secara mendalam konsep partial impunity, contoh keberhasilannya, tantangan yang dihadapi, serta relevansinya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Apa Itu Partial Impunity?
Partial impunity adalah kebijakan memberikan pengampunan sebagian kepada pelaku korupsi dengan tujuan tertentu, seperti pemulihan aset, yakni mendorong pelaku mengembalikan uang negara yang dicuri.
Tujuan lainnya adalah stabilitas politik dan ekonomi, yakni menghindari konflik besar yang dapat mengguncang tatanan sosial atau ekonomi. Selanjutnya, efisiensi penegakan hukum, yakni menghemat sumber daya dengan fokus pada pelaku besar atau sistemik.
Pendekatan ini sering kali melibatkan mekanisme seperti plea bargain, amnesti, atau grasi politik. Namun, keberhasilannya bergantung pada konteks politik, ekonomi, dan keberadaan reformasi yang menyeluruh.
Studi Kasus: Hong Kong dan Korea Selatan
Hong Kong: Transformasi melalui ICAC
Sebelum 1970-an, korupsi di Hong Kong merajalela, melibatkan pejabat tinggi hingga polisi. Namun, pembentukan Independent Commission Against Corruption (ICAC) pada 1974 menjadi titik balik.
Langkah-Langkah Strategis:
ICAC memberikan pengampunan terbatas kepada pejabat kecil atau pelaku yang memberikan informasi penting. Fokus utamanya adalah menangkap “ikan besar” dan memutus jaringan korupsi sistemik.
Selain penegakan hukum, ICAC meluncurkan kampanye edukasi publik untuk membangun budaya anti-korupsi.
Hasilnya, dalam beberapa dekade, Hong Kong berubah menjadi salah satu wilayah dengan indeks persepsi korupsi (CPI) terbaik di dunia. Pendekatan ini sukses karena diikuti oleh reformasi institusional yang kuat.
Korea Selatan: Grasi terhadap Elite Ekonomi
Korea Selatan menghadapi korupsi di tingkat pemerintahan dan perusahaan besar (chaebol).
Lewat pendekatan grasi, pemimpin perusahaan besar, seperti Lee Kun-hee dari Samsung, sering mendapat grasi dengan alasan kontribusi mereka terhadap ekonomi nasional.
Presiden yang terlibat korupsi, seperti Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo, juga mendapatkan pengampunan sebagian.
Di satu sisi, pendekatan ini menjaga stabilitas ekonomi. Namun, kritik muncul karena dianggap menciptakan budaya impunitas bagi elite, sehingga korupsi terus berulang.
Partial Impunity di Negara Lain
Afrika Selatan: Rekonsiliasi Pascakejahatan Apartheid
Afrika Selatan menggunakan amnesti sebagai alat rekonsiliasi melalui Truth and Reconciliation Commission (TRC). Pendekatan ini tidak hanya fokus pada korupsi, tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia. Hasilnya adalah stabilitas sosial, meski ekonomi tetap menghadapi tantangan besar.
Faktor Keberhasilan Partial Impunity
- Reformasi Institusional: Keberadaan lembaga seperti ICAC di Hong Kong adalah kunci keberhasilan. Reformasi sistemik memastikan korupsi tidak kembali berulang.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Proses pengampunan harus dilakukan secara terbuka, dengan target yang jelas, untuk menjaga kepercayaan publik.
- Edukasi Publik: Membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya tata kelola yang bersih dapat mendukung langkah ini.
- Konteks dan Timing: Partial impunity hanya efektif dalam situasi tertentu, seperti transisi politik atau ekonomi yang rentan.
Risiko Partial Impunity
- Erosi Kepercayaan Publik: Jika tidak dikelola dengan baik, masyarakat dapat kehilangan kepercayaan pada sistem hukum.
- Preseden Buruk: Pelaku lain mungkin merasa terdorong untuk korupsi dengan harapan mendapatkan pengampunan di masa depan.
- Ketidakadilan Sosial: Korban korupsi, terutama masyarakat miskin, tidak mendapat kompensasi yang memadai.
Relevansi untuk Indonesia
- Kebutuhan Reformasi Sistemik
Indonesia masih menghadapi tantangan korupsi sistemik. Jika partial impunity diterapkan, langkah ini harus diiringi dengan penguatan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan reformasi birokrasi untuk memutus mata rantai kronisme.
- Penerapan Selektif
Partial impunity hanya dapat digunakan dalam konteks tertentu, seperti pemulihan aset besar atau pengungkapan kasus korupsi sistemik.
- Edukasi dan Transparansi
Langkah ini harus melibatkan masyarakat dan memastikan prosesnya transparan.
Kesimpulan
Partial impunity adalah pisau bermata dua. Pendekatan ini dapat membantu negara transisi seperti Hong Kong dan Korea Selatan, tetapi hanya jika diiringi oleh reformasi mendalam dan komitmen pada penegakan hukum jangka panjang.
Bagi Indonesia, keberhasilan strategi ini bergantung pada penerapan yang selektif, transparan, dan berfokus pada reformasi institusional.
Kunci utamanya adalah partial impunity bukan solusi jangka panjang, melainkan alat pragmatis dalam situasi khusus. Untuk mencapai kemajuan nyata, pendekatan ini harus diintegrasikan dengan reformasi struktural, penegakan hukum yang tegas, dan partisipasi masyarakat yang aktif. (*)