Poin Penting
- Pemerintah diminta mempertimbangkan dampak kenaikan cukai tembakau terhadap industri hasil tembakau (IHT) dan jutaan tenaga kerja yang bergantung padanya.
- Peredaran rokok ilegal naik drastis hingga 46 persen pada 2024, dipicu fenomena downtrading akibat cukai tinggi, sehingga diperlukan pengawasan ketat dan penegakan hukum yang serius.
- Kenaikan cukai dinilai kontraproduktif jika produksi menurun dan masyarakat beralih ke rokok ilegal; stabilitas produksi justru bisa meningkatkan pembelian pita cukai dan penerimaan negara.
Jakarta – Target penerimaan cukai tahun 2026 dipatok Rp241,83 triliun, dengan mayoritas kontribusi tetap berasal dari Cukai Hasil Tembakau (CHT). Namun, di balik target besar itu, muncul kekhawatiran terhadap keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) yang selama ini menjadi penopang jutaan pekerja dari hulu hingga hilir.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PAN, Ahmad Najib, mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam menyusun regulasi terkait cukai tembakau.
“Terapkan kebijakan CHT atau pajak yang berkeadilan. Jangan terapkan pungutan berlapis karena produsen berkontribusi terhadap penerimaan negara. Perlu tahapan yang jelas, dengan berbasis data dan pengawasan strategis dengan melibatkan berbagai komponen,” kata Ahmad, dikutip, Selasa, 23 September 2025.
Menurutnya, kenaikan cukai tidak hanya berdampak pada penerimaan negara, tetapi juga bisa mendorong fenomena downtrading, yaitu peralihan konsumen ke rokok ilegal.
Baca juga: Purbaya Bakal Temui Asosiasi Industri Rokok Bahas Tarif Cukai
Fenomena peredaran rokok ilegal semakin mengkhawatirkan. Data Indodata Research Center menunjukkan, peredaran rokok ilegal pada 2024 mencapai 46 persen, melonjak dari 28 persen pada 2021.
Kondisi tersebut dikhawatirkan memukul serapan tembakau dari petani serta mengancam lapangan kerja di sektor IHT.
“Dalam memberantas rokok ilegal, pengawasan distribusi harus diperkuat, khususnya di daerah perbatasan dan jalur logistik. Sinergi lintas instansi mulai dari Bea Cukai, kepolisian, hingga pemerintah daerah juga memainkan peran penting,” tambah Ahmad.
Seruan Industri untuk Stabilitas
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi, menilai situasi IHT saat ini sudah cukup sulit akibat kenaikan cukai yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Ditambah dengan maraknya rokok ilegal, kondisi industri kian tertekan.
“Sebagai produsen rokok, kami berharap pemerintah tidak menaikkan cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) dalam tiga tahun ke depan. Diharapkan, volume produksi dapat terjaga sehingga pembelian pita cukai meningkat,” ujarnya.
Baca juga: Menkeu Purbaya Sebut Kebijakan Tarif Cukai Rokok Tak Boleh Sampai ‘Bunuh’ Industri
Menurut Benny, stabilitas produksi penting untuk menjaga serapan tenaga kerja dan keberlanjutan petani.
Jika cukai dinaikkan terus-menerus sementara konsumen beralih ke rokok ilegal, maka target penerimaan negara maupun penurunan prevalensi rokok tidak akan tercapai.
“Semakin tinggi kenaikan cukai di tengah daya beli masyarakat yang belum pulih dari dampak Covid-19, maka produksi, distribusi dan penjualan rokok ilegal juga semakin tinggi,” tegasnya.
Benny menambahkan, pemerintah juga perlu memerhatikan kebijakan nonfiskal agar tidak menambah tekanan terhadap industri, seperti rencana penyeragaman kemasan dan larangan penjualan rokok dalam radius tertentu. (*)









