Jakarta – Ibarat pisau bermata dua, kecanggihan teknologi bisa menjadi senjata untuk berbagai hal positif bagi manusia. Di sisi lain, bisa menjadi ancaman bagi manusia itu sendiri.
Kecerdasan buatan atau AI (Artificial Intellegence) misalnya, teknologi satu ini memiliki potensi besar untuk mengubah kehidupan manusia menjadi lebih baik di masa depan. Namun, rupanya kehadiran AI bisa menimbulkan ‘risiko eksistensial’ bagi umat manusia.
CEO OpenAI Sam Altman mengatakan, terdapat risiko eksistensial dalam teknologi AI yang berpotensi memusnahkan peradaban manusia di muka Bumi. “Kita menghadapi risiko serius. Kita menghadapi risiko eksistensial,” kata Altman, melansir VOA Indonesia, Jumat, 9 Juni 2023.
Menurutnya, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagaimana manusia bisa mengelola risiko tersebut dan memastikan masih dapat menikmati manfaat luar biasa tersebut. “Tidak ada yang ingin menghancurkan dunia,” jelasnya.
Selain AI, hadir pula teknologi ChatGPT OpenAI, sebuah chatbot popular yang telah menarik perhatian dunia karena menawarkan jawaban seperti esai atas pertanyaan dari pengguna.
Microsoft sendiri rela menggelontorkan investasi untuk teknologi canggih satu ini sekitar $1 miliar di OpenAI.
Kesuksesan ChatGPT, menawarkan sekilas tentang bagaimana kecerdasan buatan dapat mengubah cara manusia bekerja dan belajar, juga memicu kekhawatiran.
Untuk itu, pihaknya meminta badan internasional di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa, seperti Badan Energi Atom Internasional atau IAEA, diharapkan dapat mengawasi pengembangan teknologi tersebut.
“Memitigasi risiko kepunahan yang ditimbulkan AI harus menjadi prioritas global bersama dengan risiko skala sosial lainnya seperti pandemi dan perang nuklir,” ucapnya.
Altman mengacu pada IAEA, pengawas nuklir PBB, sebagai contoh bagaimana dunia bersatu untuk mengawasi tenaga nuklir. Badan itu dibentuk pada tahun-tahun setelah AS menjatuhkan bom atom di Jepang pada akhir Perang Dunia II.
“Mari kita bersatu sebagai satu dunia dan saya berharap tempat ini dapat memainkan peran nyata,” kata Altman.
Saat ini, anggota parlemen di seluruh dunia tengah mengamati cara kerja kecerdasan buatan itu. Sebanyak 27 negara Uni Eropa sedang mengejar UU AI yang bisa menjadi standar global secara de facto untuk kecerdasan buatan.
Altman memberi tahu Kongres AS pada Mei bahwa intervensi pemerintah akan sangat penting untuk mengatur risiko yang menyertai AI.
Namun UEA, sebuah federasi otokratis dari tujuh syekh yang diperintah secara turun-temurun, menawarkan sisi lain dari risiko AI. Pidato tetap dikontrol dengan ketat.
Kelompok hak asasi manusia memperingatkan UEA dan negara bagian lain di Teluk Persia secara teratur menggunakan perangkat lunak mata-mata untuk memantau aktivis, jurnalis, dan lainnya. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra