Oleh: Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank
BADAN Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 terkontraksi 2,07%. Kontraksi 2,07% itu diluar perkiraan Bank Indonesia dan Kementrian Keuangan RI. Sebelumnya Jalan Thamrin (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 1% (YoY) hingga minus 2%. Sementara Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan minus 1,7% hingga positif 0,6% (23/11/2020).
Penurunan ekonomi Indonesia ini, bisa jadi membuktikan, Program Pemulihan Ekonomi (PEN) tidak mampu mendorong sektor riil dan meningkatkan daya beli sesuai perkiraan. Hitung-hitungan Bank Indonesia maupun Kementerian Keuangan yang memperkirakan ekonomi Triwulan IV tidak sedalam yang diperkirakan menunjukan asumsi yang dibuat meleset sehingga hasilnya juga kurang tepat.
Banyak pertanyaan, bisa jadi juga ada yang salah sasaran dalam program PEN ini, misalnya stimulus untuk perusahaan-perusahaan BUMN, faktanya bukan untuk menambah kapasitas produksi, melainkan untuk membayar utang ke bank. Jadi duit kembali ke bank dan tidak untuk belanja atau ekspansi.
Langkah BUMN yang mendapat “darah baru” dari APBN ini yang harus diluruskan kembali, mungkin setelah dapat kucuran dana, BUMN-nya langsung mengurangi pinjaman bank, agar tidak kena beban bunga, namun dampak makronya yang terkena, karena dana itu untuk ekspansi mendorong ekonomi.
Itu tidak salah, tapi kurang tepat, meski pengucuran likuiditas ke BUMN-BUMN itu untuk menghindari kebangkrutan dan cekikan cash flow. Namun, tentu tidak sesuai dengan target besar, yaitu menggerakan ekonomi, karena angkanya tidak kecil yaitu sebesar Rp297,6 triliun kepada UMKM, insentif usaha dan korporasi yang tidak menggerakan sektor riil.
Catatan Infobank Institute, pada tahun 2020, pemerintah memberikan stimulus fiskal sebesar Rp1.039,2 triliun atau 6,3% dari produk domestic bruto – termasuk di dalamnya sebesar Rp695,2 triliun untuk menangani dampak COVID-19 dan program PEN Rp695,2 triliun. Rinciaanya; anggaran public good (yaitu biaya kesehatan, penyaluran bantuan social, dan pelayanan umum Rp297,6 triliun.
Sejalan dengan itu Bank Indonesia, di samping melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah, juga memberikan stimulus moneter yang relative besar dalam bentuk Quantitative Easing (QE), dan pelanggoran kebijakan makroprudential.
Menurut data BI, melalui mekanisme burden sharing dengan Pemerintah, BI sudah menanggung beban seluruh anggaran public goods sebesar Rp397,6 triliun melalui APBN dalam bentuk pembelian SBN secara langsung, dan menanggung beban sekitar 60% dari bunga SBN.
Menurut Berita Resmi Statistik BPS, selama setahun (kuartal IV 2019-kuartal 2020) ekonomi Indonesia terkontraksi 2,19%. Namun jika dibandingkan dengan Kuartal III ke Kuartal II terkontraksi 0,42%. Sementara secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 dibandingkan tahun 2019 terkontraksi 2,07%. Kontraksi tahun 2020 merupakan dampak dari Pandemi COVID-19 – yang melanda seluruh dunia usaha.
Masih menurut data BPS, menurut sektor, pada triwulan IV, industri pengolahan terkontraksi 3,14%, perdagangan terkontraksi 3,64%, kontruksi minus 5,67%. Sektor akomodasi dan minuman terkontraksi 8,88%. Paling dalam sektor transportasi 13,42% dan hanya sektor pertanian yang tumbuh positif 2,59%. Dengan demikian, industri pengolahan merupakan sumber kontraksi terdalam, yakni sebesar 0,65%.
Jika Produk Domestik Bruto (PDB) menurut pengeluaran, konsumsi rumah tangga turun 3,61%, PMTB terkontraksi 6,15%. Hanya konsumsi pemerintah yang tumbuh b1,76%. Sementara ekspor barang dan jasa terkontraksi 7,21% dan impor barang dan jasa terkontraksi 13,52%. Akibatnya, sumber pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2020 (YoY), pembentukan modal tetap bruto adalah sumber kontraksi terdalam, yaitu sebesar minus 2,12%.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang minus 2,07%, dinilai lebih baik dibandingkan dengan Negara-negara mitra dagang Indonesia, seperti Singapura (-5,8%), Korea Selatan (-1,0%), Hongkong (-6,1%), Amerika Serikat (-3,5%), dan Uni Eropa (-6,4%). Indonesia hanya kalah dengan China (2,3%) dan Vietnam (2,3%).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang minus 2,07% ini terasa berat, karena di sisi lain juga sektor perbankan juga sedang mengalami stagnasi pertumbuhan kredit. Selama ini bank-bank berharap, program stimulus ekonomi yang digulirkan pemerintah dalam PEN bisa meningkatkan daya beli masyarakat, meski naik, tapi tergolong tipis jika dibandingkan stimulus yang dikucurkan.
Selain untuk penanganan COVID-19 dan Bansos, benarkah stimulus Rp695,2 triliun salah resep? Ambyarrrr…! Pertumbuhan ekonomi minus 2,07% di tahun 2020 ini, semua sektor dalam zona merah. Hanya sektor pertanian dan belanja pemerintah yang hijau. Peningkatan belanja pemerintah dengan dorongan Rp695,2 triliun dari stimulus fiskal sebesar Rp1.039,2 triliun, terasa tidak berdampak besar, meski tanpa stimulus itu akan tenggelam lebih dalam.
Bahkan, akibat selanjutnya pendapatan per kapita juga menurun dan tentu kesenjangan makin lebar. Tahun 2020, menurut data BPS, PDB perkapita turun menjadi Rp56,9 juta di tahun 2020 dari Rp59,1 juta di tahun 2019. Jika dibedah lebih dalam, tentu masih terjadi kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Soalnya, kini banyak pengaguran, pabrik-pabrik banyak yang merumahkan karyawannya, dan tentu daya beli masyarakat turun. Problem sosial menjadi potensilan rawan.
Sudah bisa diduga, bank-bank makin kesulitan dalam memberikan kredit, meski likuiditas membanjir. Sektor riil terpukul dan daya beli masyarakat tidak naik. Bank-bank tidak bisa dipaksa “kencing kredit” sembarangan, dan tentu regulasi juga tidak boleh memaksakan agar bank-bank melakukan ekspansi kredit. Sektor riil dalam zona merah. Bank tentu menjaga kuda-kudanya agar tidak tergulung kredit macet akibat pemberian kredit yang serampangan.
Apakah stimulus ekonomi kurang dosis, atau salah resep? Mempercepat vaksin dan mengurangi penularan yang masif merupakan kebijakan yang mendesak, dari pada menambah dosis stimulus ekonomi yang bisa menggaramin lautan. Sekarang titik soalnya, sektor swasta tenggelam dan kehilangan daya tahan, atau menahan diri karena akar masalahnya (Pandemi COVID-19) tidak kunjung selesai, meski suntik vaksin sudah dimulai dan berjalan sangat lambat.
Vaksin, vaksin disegerakan, apa pun caranya – termasuk vaksin ide vaksin mandiri diperbolehkan, agar vaksin bisa dipercepat – agar tercipta herd immunity, karena itulah satu-satunya optimisme dunia usaha sekarang ini.
Jangan tinggalkan anak cucu dengan beban fiskal yang berat dengan defisit yang lebar. Neraka fiskal akan terus berlangsung hingga tahun 2024, akibat “salah resep” dalam penanggulan kesehatan yang berdampak pada ekonomi ini. Itulah kenapa pentingnya kredibilitas sebuah kebijakan diperlukan, bukan sekadar coba-coba, karena mungkin takut dengan bayangannya sendiri.
Tetaplah pakai masker, jaga jarak, cuci tangan, dan hindari kerumunan serta percepat vaksinasi, karena itulah bagian penting dalam pemulihan ekonomi. Terbukti mengguyur stimulus tidak banyak “daya tendangnya” ketika akar masalah kesehatan belum selesai. (*)