Oleh: Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank Media Group
SETELAH “dihimbau” oleh Gubernur BI, dan juga Menteri Keuangan RI, dua pekan lalu, bank-bank BUMN mempelopori penurunan suku bunga kredit. Suku bunga “bandel” turun, padahal suku bunga acuan BI (3,5%) sudah turun lebih cepat. Sepertinya, suku bunga acuan tidak berkorelasi langsung dengan penurunan suku bunga kredit. Sementara, suku bunga dana bisa langsung turun. Suku bunga kredit jika naik cepat, tapi kalau turun lambat.
Bank-bank anggota HIMBARA, contohnya Bank BNI mempelopori penurunan suku bunga kredit. Lalu bank-bank BUMN lainnya, seperti Bank BRI, Mandiri dan BTN. Bank-bank ini sudah menurunkan suku bunga dasar kreditnya (SDBK). Pertanyaannya, tetap apakah penurunan suku bunga kredit ini juga akan mendorong permintaan kredit?
Menurut catatan Infobank Institute, suku bunga bukan satu-satunya faktor dalam permintaan kredit. Tapi, ada faktor lain yang tak kalah pentingnya, yaitu daya beli masyarakat dan konsumsi masyarakat. Dua hal, ini penting untuk meningkatkan kapasitas bisnis, dan pada akhirnya permintaan kredit.
Pemerintah juga tidak diam. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan defisit fiskal 6% di tahun 2021 ini, agar ekonomi tetap bisa tumbuh dengan kisaran 4,5%-5%. Kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI, APBN telah bekerja keras agar ekonomi tidak terjun bebas. Tahun 2020 lalu, kontraksi ekonomi Indonesia hanya 2,19%.
Tidak hanya itu. Dari sisi penawaran, selain penurunan suku bunga acuan BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memberi relaksasi berupa restrukturisasi kredit. Batas akhir program restrukturisasi kredit ini hingga Maret 2022 mendatang. Longgar dan dapat “mempercantik” laporan keuangan karena ada “lipstick” berupa restrukturisasi kredit.
Mungkinkah Suku Bunga Deposito Nol Persen?
Isu suku bunga kredit Indonesia tertinggi di dunia, atau di Kawasan Asean tidaklah salah. Tapi, unsur pembentukan suku bunga kredit di Indonesia ternyata lebih rumit dan lebih komplek. Lihat saja unsur pembentukan suku bunga; (1) cost of funds, (2) cost operasional (terdiri dari iuran OJK, iuran LPS, GWM fee, cash fee — biaya sewa kantor, dan gaji karyawan serta iuran lain-lain seperti iuran asosiasi – over head cost – termasuk kewajiban biaya literasi), (3) risk premium (risk of default), dan (4) margin bank.
Nah, bilang lending rate atau suku bunga kredit hendak diturunkan, unsurnya bukan semata-mata faktor cost of funds yang sudah turun. Apalagi, unsur cost of fund terdiri dari deposito, tabungan dan giro sejak 10 tahun terakhir ini bersaing ketat dengan yield dari Surat Utang Negara (SUN) yang lebih sering di atas suku bunga deposito.
Nah, jika pemerintah atau Bank Indonesia dan Menteri Keuangan RI ingin suku bunga kredit dalam kisaran ke angka 8-9% atau single digit dan bank tetap ingin memperoleh NIM sebesar 4-5%, maka cost of funds bank setidaknya 1-2% jika biaya operasional bank sebesar 3-4%. Apakah ini memungkinkan? Jawabnya mungkin, tapi dengan catatan.
Satu, kondisi inflasi harus rendah, untuk menjaga real interest rate tetap tebal. Jangan sampai inflasi masih “rawan”, tapi suku bunga ditarik serendah-rendahnya. Atau, sekalian saja menetapkan suku bunga dana (deposito) “Nol Persen”, atau minus seperti bank-bank di Eropa (anggota ECB) dan Jepang. Jika kebijakan suku bunga rendah atau negatif, maka suku bunga kredit juga bisa turun ke angka lebih rendah dari 6%. Tapi, ini bahaya dana bisa lari ke negara tetangga, Singapura yang memang banyak menyimpan uang orang kaya Indoensia. Sulit rasanya suku bunga deposito “Nol Persen” ini, tapi bukan tak mungkin.
Dua, yield obligasi negara juga setidaknya rendah, agar bank-bank tidak mati kekeringan likuiditas, karena dananya terbang ke Surat Utang Negara – yang menjadi pesaing utama bank-bank. Ada baiknya, yield SUN, meski sudah turun, bisa jadi lebih rendah lagi.
“Teori Ingus” Suku Bunga Kredit
Sementara untuk menurunkan Net Interest Margin (NIM) – sepertinya sulit, karena sejak 10 tahun terkahir ini NIM bank juga cenderung turun. Kisaran angka 4-5% — relative sudah rendah, karena sebelumnya pada kisaran angka 5-6%. Besarnya NIM ini diperlukan karena kebutuhan pemupukan modal bank juga relative besar.
Kebutuhan pemenuhan modal untuk capital adequacy ratio (CAR) bank-bank, juga tidak kecil. Meski ketentuan CAR pada angka 8-12% (tergantung banknya), tapi bank-bank cenderung lebih karena faktor “hantu” risiko yang tetap besar.
Bank-bank sudah 7 tahun terakhir ini memelihara CAR 22-23%. Pendek kata, bank di Indonesia membutuhkan margin yang tinggi, dan karena margin relative tinggi itulah investor asing berminat membeli bank di Indonesia.
Lebih aneh lagi sekarang ini, meski bank-bank sudah menurunkan kredit, tapi perolehan NIM justru naik. Tidak kaget, karena besar kecilnya NIM tidak dipengaruhi oleh suku bunga kredit, tapi lebih banyak dipengaruhi oleh cost of fund, operasional cost dan margin bank.
Itu artinya, suku bunga acuan BI lebih cepat direspon oleh bank-bank dengan menurunkan suku bunga dana dan baru suku bunga kredit. Ada jarak waktu, tapi terkadang bank juga mengulur waktu dalam menurunkan suku bunga kredit. Hal ini bisa jadi karena komposisi dana yang lebih banyak jangka pendek untuk kredit jangka panjang. Namun harusnya tidak boleh lebih dari 3 bulan, karena komposisi dana bank-bank lebih besar di jangka waktu 1-3 bulan.
Tak heran – teori suku bunga di Indonesia – oleh penulis sering menyebut “Teori Ingus” ketika anak kecil pilek. Penurunan suku bunga kredit bergerak lambat, tapi kalau suku bunga naik, geraknya cepat seperti ketika ingus naik dan turun ketika pilek.
Alhamdulilah, suku bunga kredit sudah perlahan turun, namun sebaliknya NIM bank naik justru naik menjadi 4,55% di Januari 2021 dibandingkan Desember 2020 sebesar 4,45%. Jangan heran, boleh jadi benar adanya “Teori Ingus” dalam suku bunga kredit ini. Gampang naik, “lelet” turunnya.
Dan, sampai Maret 2021 ini bank-bank masih sibuk menghitung, berapa kredit yang direstrukturisasi tahun 2020 lalu — yang jatuh menjadi tambahan NPL? Penurunan suku bunga kredit yang dilakukan bank-bank BUMN, dan juga bank-bank besar, tidak linear untuk mengucurkan kredit.
Tapi, setidaknya bank-bank sudah melakukan penurunan suku bunga kredit, meski tidak bisa menjamin kredit langsung lancar. Sejalan dengan itu — risiko kredit bagi debitur berkurang — dengan penurunan suku bunga kredit ini.
Kata kuncinya pada efisiensi – konsep bank dengan banyak cabang dan jumlah karyawan akan menjadi derita biaya operasional yang juga tinggi. Jangan sampai cost of fund bank lebih rendah dari biaya operasional. Itu menyalahi “takdir” bank sebagai lembaga intermediasi. (*)