Jakarta – Indonesia dinilai memiliki potensi ruang besar untuk memperluas dan memperdalam sektor jasa keuangan. Hal ini sejalan dengan masih rendahnya akses atau tingkat kedalaman sistem industri keuangan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Asean dan negara-negara G20.
Demikian disampaikan oleh Calon Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) Mahendra Siregar dalam dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), di Gedung Parlemen, Rabu, 6 April 2022. Menurutnya, dirinya siap untuk meningkatkan akses kedalaman sistem industri keuangan nasional jika dirinya terpilih menjadi DK OJK.
Saat ini, kata dia, akses dan kedalaman sistem perbankan terutama untuk kredit bank disektor swasta saat ini sebesar 33% dari PDB atau masih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata negara Asean lainnya yang mencapai diatas 100%. Selain itu, Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara G20 yang mencapai 99% dari PDB.
“Akses kredit bank di sektor perbankan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara Asean lainnya yang mencapai 104% dan dengan negara G20 juga tertinggal 99% dari PDB. Untuk penempatan dana di industri keuangan saja Indonesia baru 40% dari PDB. Di negara-negara Asean lainnya itu sudah 113% dari PDB dan negara G20 98% dari PDB,” ujarnya
Sementara untuk pasar saham. Ia melanjutkan, untuk kapitalisasi pasar saham di Indonesia hanya 47% dari PDB jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara Asean maupun negara G20 yang berada di atas 100%. “Ini menunjukkan bahwa potensinya sangat besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Maka pengawasan terintegrasi menjadi modalitas yang kuat untuk menjalankannya,” ungkapnya.
Lebih lanjut dirinya menyatakan, untuk memaksimalkan potensi tersebut, maka dalam pelaksanaan pengawasan OJK yang terintegrasi tersebut belum maksimal dan harus lebih diperbaiki lagi.
Di sisi lain, sambung Mahendra, untuk aset perbankan syariah di Indonesia hanya 2% dari total volume perbankan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Asean seperti Malaysia yang sudah mencapai 14% dari PDB. Kemudian dibandingkan dengan negara-negara G20 yang tercatat sebesar 29% dari PDB untuk Arab Saudi. Sedangkan aset pendanaan, Indonesia 4% dan Malaysia 29% dan Arab Saudi 36% dari PDB.
Menghadapi hal ini, jelas Mahendra, ada enam prioritas yang harus dilakukan. Pertama, peningkatan efektivitas kepemimpinan OJK. Kedua, penguatan struktur KE IKNB dan KE Pasar Modal. Kemudian ketiga, pelayanan satu pintu. Keempat, peningkatan efektifitas pengawasan pemeriksaan penyidikan dan tindak lanjut. Kelima, kerjasama dan koordinasi yang efektif dengan regulator dan lembaga lain.
“Keenam, sinergi penuh dengan pemerintah, DPR, dan lembaga-lembaga negara dalam menjalankan strategi nasional untuk kepentingan nasional, antara lain pembangunan yang berkelanjutan,” tutup Mahendra. (*)