Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
SURGA ada di telapak kaki deposan jumbo. Bank-bank dipaksa mengikuti keinginan para pemilik uang besar untuk memberikan suku bunga di atas rata-rata. Itu masih wajar. Tapi, akhir tahun ini, para pemilik uang jumbo ini makin menjadi-jadi dengan menekan bank untuk segera menaikkan suku bunga depositonya. Mereka melancarkan aksi “adu domba” antarbank, terutama bank pembangunan daerah (BPD).
Caranya, dengan “mengadu domba” bank, khususnya bank-bank milik pemerintah daerah (pemda) yang punya cabang di Jakarta. ”Lho! bank sebelah kasih suku bunga 8% kok bank kamu kasih 6%. Kalau nggak kasih, maka akan saya break deposito yang jatuh tempo,” kata seorang account officer dana sebuah bank menirukan kata-kata sang pemilik dana.
Ancaman ini dilakukan para pemilik uang besar kepada hampir semua BPD di seluruh Indonesia, terutama yang berkantor di Jakarta. Jadi, mau tidak mau BPD ini terpaksa memberikan suku bunga gila-gilaan, kalau tidak dibilang “ugal-ugalan”, karena tekanan pemilik dana jumbo.
Sejumlah BPD merasa ditekan oleh para pemilik uang itu. Siapa pemilik uang dimaksud? Ada dua kategori. Pertama, dana pensiun, asuransi, dan asset management. Kategori ini mintanya tidak jauh-jauh dari suku bunga (rate) di pasar yang berlaku umum, maksimal 7%. Mereka masih masuk dalam batas normal, tidak sampai menekan serta mengancam mau “break”.
Kedua, lembaga seperti Taspen, BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK), BPJS Kesehatan, dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Mereka ini, terutama BPJS TK, minta suku bunganya hampir dua kali dari penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan/LPS (suku bunga penjaminan 4,25%). Menurut pemantauan di pasar, BPJS-TK meminta rate 8,25% untuk deposito 12 bulan.
Baca juga: BI Catat DPK Melambat, Kredit Tumbuh Tipis, Cek Rinciannya
Tidak ada yang salah sampai di sini. Sebagai pemilik uang jumbo, tidak salah jika bank-bank memberi “lebih” suku bunga (premium rate) kepada mereka. Para pemilik uang ini tahu betul situasi sekarang ini. Satu, bank-bank tengah mengejar target dengan mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK) agar dananya meningkat di akhir tahun.
Dua, bank-bank, terutama BPD, dihadapkan pada struktur dana BPD yang habis di akhir tahun karena digunakan oleh pemda. Namun, pada awal tahun dana itu kembali normal, karena sifat anggaran.
Tiga, keringnya likuiditas di pasar akibat kebijakan moneter yang ketat. Empat, tidak meratanya likuiditas di perbankan membuat situasi pasar dana perbankan juga mudah “diadu domba” sehingga bank-bank mengikuti keinginan pemilik dana.
Para deposan jumbo ini paling tidak ingin memanfaatkan situasi, selain memang hendak memaksimalkan target peningkatan imbal hasil (yield) yang maksimum. Selain itu, para deposan jumbo ini juga punya kewajiban untuk mengembalikan dana ke peserta. Jadi, karena ada kesempatan, maka bank-bank pun “digas pol” oleh para pemilik dana jumbo ini.
Menurut catatan Infobank Institute, langkah ini dilakukan, karena penempatan di saham mulai kendur, terutama sejak tragedi potential loss tahun 2019 dianggap kerugian negara. Trauma itu masih membekas bagi para pengelola dana yang terkait dengan investasi saham. Mereka lebih nyaman membeli Surat Utang Negara (SUN) atau deposito, ketimbang menanam di saham.
Aman. Nyaman. Hampir tak berisiko. Tak perlu mikir panjang dan tak butuh keahlian khusus. Bahkan, ditinggal liburan setahun, atau hanya keliling cabang se-Indonesia pun uang akan “beranak” sendiri. Tidak ada risiko. Cukup minta rate paling optimal, maka bank-bank pun “kebat-kebit”. Bayangkan, jika tiba-tiba deposito jumbo di-break di tengah jalan dalam situasi sekarang, maka bank akan terguncang. Jadi, mau tidak mau bank menuruti keinginan deposan tajir ini.
Baca juga: Insiden Penangguhan Deposit Terjadi di AS, The Fed Turun Tangan
“Adu domba” akan menguntungkan pemilik dana jumbo. Itu pun dinilai sebuah prestasi dari key performance indicator (KPI) sendiri dari dewan direksi. Namun, di balik itu, di sisi yang lain punya dampak yang tidak kecil tentunya. Ada beberapa dampak negatif yang perlu diperhatikan.
Persaingan yang ketat dapat mendorong bank untuk mengambil risiko yang lebih tinggi dalam upaya untuk menarik nasabah. Ini bisa berarti bank memberikan bunga yang tinggi, tetapi juga berarti mereka dapat mengambil risiko yang lebih besar dalam pengelolaan dana nasabah. Selain itu, persaingan yang ketat dapat menyebabkan bank mengurangi keuntungan.
Bank-bank bisa jadi harus menurunkan biaya operasional atau membatasi layanan yang mereka tawarkan kepada nasabah. Ini dapat berdampak negatif pada kualitas layanan yang diberikan oleh bank. Selain itu, persaingan yang ketat dapat menciptakan ketidakstabilan di sektor perbankan.
Nah, jika banyak nasabah memindahkan dana mereka dari satu bank ke bank lain untuk mendapatkan bunga yang lebih tinggi, maka bank yang kehilangan dana tersebut dapat mengalami kesulitan likuiditas. Secara keseluruhan, persaingan antarbank dalam menawarkan suku bunga deposito yang tinggi dapat memiliki berbagai dampak risiko. Selain risiko likuiditas, ada risiko kredit.
Semua paham, efek dari adu domba yang dilakukan para pemilik dana jumbo ini tak lain akan menaikkan biaya dana (cost of fund) bank-bank, terutama BPD. Kenaikan cost of fund ini akan menaikkan suku bunga kredit, dan tentu BPD yang dekat dengan UMKM ini juga akan menaikkan suku bunganya. Pada akhirnya suku bunga akan naik dan risiko juga akan naik. Harga kredit mahal maka permintaan kredit pun turun.
Dalam jangka pendek – terutama BPD-BPD dalam menghadapi deposan jumbo ini – setidaknya sesama BPD harus kompak. Bisa jadi lewat Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) untuk tidak terprovokasi dengan trik adu domba ini. Untuk BPD yang kelebihan dana bisa dipinjamkan ke bank lain yang kekurangan likuiditas. Pintu pinjaman antarbank dibuka lebar-lebar. Kerja sama antar-BPD di pasar uang harus saling support. Sehingga, BPD yang kelebihan dana tidak terlalu “bernafsu” mengambil dana yang makin mahal di akhir tahun ini. Tidak egois antar-BPD.
Baca juga: OJK Terus Dorong BPD Action Plan Kejar Modal Inti
Infobank Institute menilai, penekanan terhadap BPD dengan cara mengadu domba ini tidaklah baik bagi sistem keuangan. Apalagi dalam situasi global yang penuh dengan ketidakpastian – tentu akan membuat terganggunya sistem keuangan. Jangan heran, keinginan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga kredit ini pun teramat sulit, karena tekanan dari deposan jumbo ini. Bahwa, tidaklah salah jika deposan jumbo ingin memaksimalkan yield.
Sayangnya para pemilik uang ini tidak bermain saham, atau kecil main obligasi korporasi. Bahwa yield saham ini turun, bukan berarti dihindari. Jadi, tergantung bagaimana kecerdasan membeli saham. Intinya, keberanian dengan memperhitungkan risiko dan pembelian dengan tata kelola yang baik.
Namun, memang trauma potential loss dianggap merugikan negara ini menjadi “hantu” bagi pengelola dana-dana jumbo ini, seperti BPJS Tk, BPJS Kesehatan, BPKH, dan Taspen yang paling sibuk meminta suku bunga antara 8% hingga 8,25% dengan cara mengancam akan “break” jika tidak dituruti keinginannya.
Sementara, lending rate BI saja berkisar 6,5% dengan BI-7 Day (Reverse) Repo Rate (BI7DRR) masih di 5,75%. Jadi, permintaan suku bunga 8%-8,25% membuktikan adanya ego sektoral yang dibenarkan – tapi melupakan kepentingan sektor UMKM yang akan menerima akibatnya dengan suku bunga yang tentu tinggi pula.
Jangan sampai, karena tidak bisa memaksimalkan dana ke intrumen saham atau obligasi, malah justru menekan bank-bank dan khususnya lewat instrumen deposito dari bank-bank daerah. Apalagi dengan cara-cara mengadu domba disertai ancaman mau “break” karena rate di bank tetangga lebih tinggi.
Rupanya adu domba tidak hanya terjadi di dalam pilpres. Di dalam hal menanam dana di deposito di BPD-BPD pun kini juga sedang marak. Bahwa surga itu ada di telapak kaki deposan besar masih berlaku saat ini. Dan, janganlah panik BPD-BPD. Masuklah pasar uang dan bukalah selebar-lebarnya pintu pinjaman antarbank dengan bank-bank umum lainnya.
Bankir BPD kini tidak hanya ditekan oleh pemegang saham (shareholder), tapi juga oleh para stakeholder, seperti deposan-deposan besar ini untuk menaikkan suku bunga setinggi-tingginya. Bayangkan, hampir dua kali suku bunga penjaminan LPS (4,25%) atau sebesar 8%-8,25%.
Sangking “menderitanya” para bankir BPD ini, guyonan di kalangan bankir pun boleh jadi memang benar adanya. “Jika bankir BPD meninggal maka akan masuk surga semua, karena selama hidupnya di Indonesia sudah seperti di neraka, jadi langsung masuk surga”.
Adu domba rate deposito ini harus dihentikan. Entah oleh siapa. Berharap dari Presiden dan partai politik tentu sulit, karena semua bicara politik sesaat untuk kekuasaan. Semoga ada yang “cawe-cawe” soal adu domba antarbank ini. (*)